Koridor Karangwangi Sebagai ‘Main
Street’ Kota Cirebon
Penulis:
Yoyon Indrayana1
Abstraksi
Koridor
karangwangi adalah salah satu jalan protokol di kota cirebon, yang merupakan
gabungan dari 2(dua) ruas jalan , yaitu jalan karanggetas dan jalan siliwangi. Koridor
karangwangi memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi dan peran yang sangat
penting bagi kota cirebon. Melihat sejarah yang dimiliki pada Koridor Karangwangi,
ini dapat mejadi potensi yang sangat menarik untuk pengembangan ‘Main Street’
pada koridor jalan dimaksud. Adanya folklore atau mitos pada koridor
karangwangi menjadikan koridor karangwangi ini selalu berada dalam benak
sebagian besar warga kota Cirebon khususnya. Koridor karangwangi merupakan
koridor utama yang bisa memberikan kesan pertama bagi pengguna jalan atau
pendatang dari luar kota saat memasuki kota cirebon. Dengan demikian koridor
ini semestinya menjadi ‘landmark’ yang memberikan informasi dan kesan yang baik
tentang kota cirebon. Dengan kata lain koridor ini berpeluang untuk menjadi
‘Main Street’, simbol atau identitas bagi kota Cirebon. Menurut Jacobs(1993), Beberapa
kota memiliki jalan yang bermakna dan menimbulkan persepsi kuat bagi pengguna.
Jalan tersebut dianggap memiliki kenangan (image) dan suasana yang lebih
menarik atau lebih menyenangkan dari pada jalan-jalan yang lain, sehingga orang
selalu mengingatnya dan ingin kembali ke jalan yang sama ketika berada di kota
tersebut. Pada
era globalisasi seperti saat ini, adanya main street sebagai identitas kota
atau citra kota dapat berfungsi sebagai penambah daya tarik wisata bagi kota.
Main street menjadi sesuatu yang penting untuk memperkuat identitas dan wajah
kota sehingga membuat kota tersebut menarik dan memiliki daya tarik bagi
wisatawan.
Kata
kunci :
koridor
karangwangi, landmark, main street, identitas kota, wisata perkotaan
A.
Pendahuluan
Kota
Cirebon adalah salah satu kota yang berada diperbatasan antara propinsi jawa barat dan propinsi jawa tengah yang cukup
ramai. Posisinya yang sangat strategis, berada diperlintasan lalu-lintas yang
menghubungkan kedua propinsi di pulau jawa itu menjadikan kota cirebon sangat
sibuk dengan aktifitas yang tidak saja dilakukan oleh warga kota cirebon,
tetapi juga warga disekitar kawasan hinterland kota cirebon. Kota cirebon
memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan kota-kota lain
disekitarnya. Sehingga jumlah penduduk kota yang sebenarnya hanya kurang lebih
350.000 jiwa, tapi pada saat siang hari bisa mencapai 3(tiga) kali lipatnya.
Kota
Cirebon yang didirikan pada tanggal 1 muharram 791 H, telah mengalami periode
perkembangan sejarah yang cukup panjang. Didalam periode tersebut banyak sekali
nilai-nilai maupun peristiwa sejarah yang berlangsung sehingga membentuk
karakteristik kota yang ada saat ini. Walaupun begitu sisa-sisa peninggalan
masa lampau berupa karya arsitektur, kekayaan seni, tradisi dan budaya tetap
bertahan seiring dengan perkembangan jaman sebagai Living Monument. Hal
tersebut menjadikan kota cirebon sangat layak untuk disebut sebagai Kota Wisata
Budaya atau Kota Pusaka Nasional, bahkan mungkin bisa sebagai Kota Pusaka Dunia
(World Heritage City). Dengan banyaknya warisan budaya dari berbagai periode
sejarah yang dimiliki maka tidaklah diragukan lagi bahwa keunggulan nilai
warisan budaya di kota Cirebon memiliki nilai yang sangat tinggi dan harus
dilestarikan dan dipelihara sebagai bagian dari upaya melestarikan budaya
bangsa.
Koridor
karangwangi yang merupakan gabungan dari 2(dua) ruas jalan , yaitu jalan
karanggetas dan jalan siliwangi, memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi dan
peran yang sangat penting bagi kota cirebon. Koridor karangwangi juga berfungsi
sebagai jalan protokol kota cirebon, jalan karanggetas dengan fungsi utama
kawasan perdagangan, sedangkan jalan siliwangi dengan fungsi utama jasa dan
perkantoran. Jalan karanggetas dikenal sejak jaman Pemerintahan Syekh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati memimpin Kerajaan Islam Cirebon pada awal
abad ke 15 M, Sedangkan jalan siliwangi dikenal sejak pemerintah kolonial masuk
ke cirebon dan mendirikan gedung perkantoran di jalan siliwangi pada awal abad
ke 19 M. Sehingga bisa dikatakan keberadaan koridor karangwangi menjadi
orientasi dan sangat mempengaruhi perkembangan morfologi kota cirebon sampai
saat ini.
Jacobs
(1993) menyebutkan bahwa main street adalah jalan yang dapat menjadi
representasi identitas kota, dimana karakteristik main street antara lain
adalah mudah diingat (imageable) dan bisa menjadi tempat yang nyaman dan
menyenangkan untuk pejalan kaki, atau dengan kata lain memiliki sense of place.
Sementara teori-teori mengenai sense of place menyatakan bahwa kesan suatu
tempat dibentuk oleh tiga komponen utama, yaitu karakter fisik, aktivitas dan
makna, meskipun ketiga komponen tersebut tidak selalu sama kuat intensitasnya
sebagai pembentuk sense of place (Garnham, 1985; Relph, 1976; Carmona dkk,
2003). Oleh karena itu imageability, keunikan (distinctiveness), dan sense of
place menjadi komponen yang penting dalam pembentukan identitas suatu main
street.
B.
Metode
Penelitian
Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi elemen peninggalan budaya yang ada di kota
Cirebon baik yang tangible maupun intangible, serta makna atau arti yang
terkandung didalamnya dan memberikan wawasan bagi para pemangku kepentingan
untuk dapat mengembangkan segala potensi yang ada agar dapat didaya gunakan
dalam pembuatan kebijakan pengembangan wisata budaya perkotaan secara
maksimal. Metode yang digunakan adalah
metode kualitatif, dengan wawancara etnografi, diskusi kelompok fokus dan
wawancara langsung. Dalam metode kualitatif ini tidak menekankan kepada
generalisasi (transferability), tetapi lebih menekankan pada makna. Metode kualitatif ini menggunakan penelitian
deskriptif, dimana penelitian ini hanya menggambarkan dan menganalisis sesuatu
yang sebenarnya mengenai suatu variabel, dan tidak dimaksudkan untuk menguji
hipotesis tertentu, dan tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk
membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti.
C.
Pembahasan
1.
Nilai
Sejarah Koridor Karangwangi Sebagai Pembentuk Imageability
Koridor Karangwangi
yang merupakan gabungan dua buah ruas jalan, yaitu Jl.Karanggetas dan
Jl.Siliwangi, memiliki sejarah yang cukup penting dalam pembentukan morfologi
kota Cirebon. Dalam perkembangan morfologi kotanya, koridor karangwangi ini
selalu menjadi orientasi bagi pertumbuhan kota. Pembangunan jalan yang
dilakukan pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah ( 1479 M), menghubungkan
keraton pakungwati di dukuh lemahwungkuk menuju dukuh pesambangan (astana
gunung jati), sepanjang kurang lebih 5 kilometer agar dapat dilalui kuda dan
pedati. Hal ini memang bisa dipahami karena pada kedua titik tujuan itulah
semua orientasi aktifitas masyarakat pada saat itu terjadi bahkan hingga sampai
saat ini. Dukuh Pesambangan sebagai tempat awal penyebaran agama islam di
Cirebon dan Dukuh Lemahwungkuk sebagai pusat pemerintahan dan keraton. Koridor
Karangwangi sangat berarti bagi pembentukan Kota Cirebon saat itu. Dari kedua
pedukuhan itulah pergerakan hilir mudik orang cirebon pada saat itu terjadi,
tidak saja urusan penyebaran agama islam atau urusan pemerintahan dengan
keraton tetapi juga aktifitas perdagangan dan aktifitas sosial masyarakat
lainnya. Koridor Karangwangi berkembang sebagai ruas jalan yang padat dan sibuk
serta berpengaruh pada perkembangan morfologi Kota Cirebon selanjutnya. Koridor
Karangwangi (Karanggetas-Siliwangi) memang cukup fenomenal untuk masyarakat
Kota Cirebon, di sepanjang koridor jalan itu tersisa warisan bangunan
(heritage) dari berbagai masa pemerintahan yang masih utuh sampai saat ini dan
dapat dikembangkan sebagai destinasi wisata budaya baru bagi kota cirebon.
Melihat
sejarah yang dimiliki pada Koridor Karangwangi, ini dapat mejadi potensi yang
sangat menarik untuk pembentukan imageability koridor jalan dimaksud. Menurut
Jacobs(1993),Beberapa kota memiliki jalan yang bermakna dan menimbulkan
persepsi kuat bagi pengguna. Jalan tersebut dianggap memiliki kenangan (image)
dan suasana yang lebih menarik atau lebih menyenangkan dari pada jalan- jalan
yang lain, sehingga orang selalu mengingatnya dan ingin kembali ke jalan yang
sama ketika berada di kota tersebut. Karakter sebuah jalan sebagai ruang kota
akan mempengaruhi persepsi pengguna jalan terhadap image atau citra kota secara
keseluruhan, yang pada akhirnya menjadi rujukan bagi identitas kota yang bersangkutan.
Oleh karena itu perubahan karakter suatu koridor jalan pada suatu kota akan
mempengaruhi pembentukan persepsi masyarakat terhadap identitas kota itu.
Perubahan karakter suatu kota saat ini terjadi di berbagai kota di dunia
sebagai akibat dari globalisasi dan tekanan pertumbuhan ekonomi, yang
seringkali berdampak pada hilangnya karakter lokal dan menghasilkan wajah kota
yang dimana-mana sama atau seragam.
Identitas
kota berkembang sepanjang waktu, dipengaruhi oleh perubahan dan berbagai faktor
pembentuknya, dan menjadi komponen yang berharga bagi keberlanjutan kota
(Scheffler, 2009; Okesli, 2012). Oleh karena itu, menciptakan suatu tempat yang
memiliki identitas sebagai pendukung keberlanjutan merupakan salah satu tujuan
perancangan untuk menciptakan kota yang baik (Carmona, 2007). Pembentukan
identitas kota melibatkan persepsi masyarakat terhadap lingkungan kota
berdasarkan pengalaman sehari-hari (Relph, 1976; Rose, 1995), dimana dalam
proses mengalami kota, karakter streetscape merupakan sumber informasi visual
langsung dan terdekat bagi pembentukan image dan persepsi terhadap lingkungan
kota serta identitas kota secara lebih luas.
2.
Keunikan
(Distinctiveness) Karakter Koridor Karangwangi
Kevin
Lynch (1981) menyatakan bahwa kemampuan untuk mengenali keunikan dipengaruhi
oleh keterbacaan atau legibility lingkungan tersebut. Selain legibility,
penilaian keunikan karakter koridor karangwangi
di Kota Cirebon juga di pengaruhi oleh aksesibilitas dan elemen-elemen
yang membentuk karakter streetscape-nya. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa
koridor-koridor jalan yang menurut penilaian masyarakat memiliki nilai keunikan
paling tinggi, juga merupakan koridor dengan penilaian imageability,
familiaritas, legibility, serta nilai kualitas dan kenyamanan yang paling
tinggi. Koridor karangwangi yang merupakan gabungan dua ruas jalan, yaitu ;
jalan karanggetas dan jalan siliwangi memiliki banyak elemen pembentuk
keunikan. Jalan karanggetas yang pada awal abad 15 M merupakan kawasan yang
sangat strategis sebagai pintu masuk ke karaton Cirebon, sehingga banyak
pendatang seperti dari etnis tionghoa, etnis arab dan pribumi sendiri yang
bermukim disana. Sehingga kemudian kawasan tersebut berkembang sebagai kawasan
usaha yang menguntungkan. Sejak awal abad ke 20 M kawasan karanggetas
berkembang sebagai kawasan strategis kota Cirebon. Jalan Karanggetas saat itu
berkembang sebagai pusat pertokoan emas, tercatat pada awal abad ke-20 itu ada
sebelas toko emas yang semuanya itu dimiliki oleh orang Tionghoa yang sampai
saat ini masih bisa ditemukan. Sehingga jalan karanggetas sangat mudah dikenali
(legibility) tidak saja oleh penduduk kota yang sudah sering
melewati(familiaritas), tetapi juga oleh para pendatang. Pada kawasan sekitar
jalan karanggetas, berkembang juga perkampungan etnis arab yang mengembangkan
usaha penjualan buku-buku keagamaan, minyak wangi, dan usaha lainnya, sehingga
kawasan karanggetas menjadi kawasan perekonomian utama bagi kota cirebon.
Sementara
kawasan jalan siliwangi saat ini berkembang sebagai kawasan perkantoran utama
di kota Cirebon dan juga aktifitas pendukung kota lainnya. Banyak
bangunan-bangunan yang merupakan cagar budaya (heritage) yang bergaya kolonial,
peninggalan pemerintah belanda sejak awal abad ke 19 M yang masih berdiri
dengan kokoh dan menarik banyak pengunjung. Pemerintah Belanda membangun
beberapa bangunan yang berfungsi perkantoran di sepanjang Jalan Siliwangi,
seperti Gedung Karisedanan (Gedung Negara) dan kantor Balaikota (Staadhuis).
Pembangunan Gedung Karesidenan Cirebon (Gedung Negara) dibangun pada tahun 1865
M ketika Karesidenan Cirebon dipimpin oleh Albert Wilhelm Kinder De Camurecq.
Sementara Balaikota Cirebon dibangun pada tahun 1924 M, merupakan
pengejawantahan peningkatan kepentingan Pemerintah Belanda terhadap kota
pelabuhan cirebon saat itu, yang pada awal abad ke-20 telah menempati ranking
ke-4 terbesar di Jawa. Pada masa Pemerintahan Militer Jepang hingga masa
kemerdekaan gedung ini menjadi pusat Pemerintahan Kota Cirebon. Selain itu di
jalan siliwangi juga banyak dijumpai bangunan-bangunan cagar budaya lain yang
memiliki arsitektur yang sangat tinggi dan saat ini dinyatakan sebagai bangunan
cagar budaya (heritage). Seperti halnya jalan karanggetas, jalan siliwangi juga
sangat familiar bagi warga kota cirebon, sehingga hampir seluruh jalur angkutan
umum perkotaan yang ada akan melewati jalan siliwangi dan sangat mudah mngenali
(legibility) karakternya melalui tampilan (fasade) bangunan-bangunan heritage
tadi. Dengan ruas jalan yang cukup luas dan tampilan karakter bangunan disekitarnya,
jalan siliwangi merupakan jalan yang memiliki kualitas dan kenyamanan yang
sangat tinggi bagi warga kota cirebon. Sehingga hampir setiap perayaan apapun,
seperti karnaval atau pawai yang memiliki skala kota atau nasional selalu
dilakukan pada ruas jalan ini.
3.
Pembentukan
sense of place koridor karangwangi
Sense
of place didefiniskan sebagai ikatan antara tempat dengan manusia dimana tempat
tersebut dapat memberikan rasa atau kesan tersendiri bagi mereka, baik rasa
nyaman, aman, asing dan sebagainya. Sense of place dapat terjadi dimana saja,
seperti ruang publik, rumah, taman, dan sebagainya. Sense of place dapat
terjadi pada ruang publik karena pada ruang publik tidak terdapat batasan ruang
sehingga manusia dapat secara bebas mengalami sense of place. Selain itu,
manusia juga dapat berinteraksi satu sama lain sehingga memiliki sebuah memori
dan pengalaman baru dan meninggalkan suatu kesan tersendiri bagi manusia ,yang
menyebabkan terjadinya sense of place pada ruang publik tersebut. Jadi Sense of
place adalah suatu proses persepsi lingkungan yang melibatkan pengenalan
ciri-ciri suatu tempat dan pembedaan antara satu tempat dengan tempat lainnya
yang menghasilkan image mengenai tempat tersebut. Oleh karena itu pembahasan
mengenai pembentukan sense of place dilakukan berdasarkan analisis imageability
dan keunikan (distinctiveness) karakter koridor karangwangi kota Cirebon. Dari
analisis karakter ke dua ruas jalan pada koridor karangwangi, yaitu jalan
karanggetas dan jalan siliwangi menunjukkan bahwa sense of place masing-masing
ruas jalan dipengaruhi oleh tidak saja komponen karakter fisik tetapi juga dari
pada karakter aktivitas dan makna setiap ruas jalan dengan intensitas yang
berbeda.
Berdasarkan
analisis elemen-elemen pembentuk imageability dan keunikan (distinctiveness)
pada jalan karanggetas dan jalan siliwangi, terlihat bahwa elemen-elemen
pembentuk sense of place pada koridor karangwangi adalah sebagai berikut:
Jalan Karanggetas,
Merupakan
koridor dengan signifikansi sejarah yang cukup kuat sebagai pintu masuk kawasan
keraton Cirebon pada awal abad ke 15 M, hingga saat ini berkembang sebagai
kawasan strategis ekonomi bagi kota Cirebon, dimana masih terlihat pada
karakter fisik yang cukup unik sebagai kawasan pertokoan emas yang menimbulkan
imagebility bagi warga kota Cirebon. Banyak cerita rakyat (folklore) atau mitos
yang menceritakan tentang jalan karanggetas, asal kata getas yang berarti mudah
patah menceritakan bahwa karang yang sangat kuat saja bisa getas di tempat itu,
maka orang yang sombong meski memiliki ilmu yang tinggi bisa getas di jalan
itu. Mitos ini berawal dari cerita tentang Syekh Magelung Sakti, seorang
kesatria muda yang berambut panjang, konon tengah mencari seorang ulama yang
bisa memangkas rambutnya. Kesatria tersebut konon berasal dari Negeri Bagdad
Timur Tengah. Kedatangan Syekh Magelung Sakti ke Cirebon lantaran mendengar di
daerah ini terdapat orang sakti yang bisa membantu memotong rambutnya . Di
sana ia bertemu dengan seorang ulama yang belakangan diketahui bernama Sunan
Gunung Jati dan ditempat itulah ia kemudian dipangkas rambutnya oleh sang Sunan
dan sang kesatria itu pun bersedia jadi muridnya. Sejak saat itu daerah
tersebut dinamai Karanggetas dan kali atau sungai yang melintas di jalan
karanggetas dinamai Kali Sukalila, berasal dari kata suka dan Lillahitaala
karena Syekhmagelung merasa suka dan sudah ikhlas rambutnya dipotong. Perpaduan
antara karakter fisik, aktifitas para pengguna dan makna sejarah yang cukup
kental membentuk sense of place yang cukup kuat pada jalan karanggetas.
Jalan Siliwangi
Merupakan
koridor jalan yang memiliki makna sejarah yang sangat kuat bagi kota cirebon
hingga saat ini. Saat pemerintah belanda membangun jaringan jalan raya darat
Groote Postweg oleh Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels tahun
1808-1810, yang menghubungkan Anjer (Banten) hingga ke Penarukan (Jawa Timur),
pemerintahan kolonial juga membangun jalur kereta api dengan dua stasiun kereta
api, yakni Stasiun Kejaksaan dan Stasiun Prujakan di pusat kota cirebon. Kebijakan
pembangunan pelabuhan Cirebon yang dibangun tahun 1865 M, dan pada tahun 1890 M
diperluas dengan pembangunan kolam pelabuhan dan pergudangan, memicu peran kota
menjadi kota transit dan berpengaruh pula bagi pertumbuhan industri dan
perdagangannya. Selanjutnya Belanda juga membangun beberapa bangunan yang
berfungsi perkantoran di sepanjang Jalan Siliwangi, seperti Gedung Karisedanan
(Gedung Negara) dan kantor Balaikota (Staadhuis). Jalan siliwangi menjadi
orientasi bagi perkembangan morfologi kota cirebon. Jalan siliwangi sangat
imagebility dengan banyaknya bangunan cagar budaya (heritage) yang dapat
dijumpai disepanjang jalan. Bangunan peninggalan kolonial yang memiliki ciri
arsitektur ‘Art Deco” yang sangat indah menjadikan jalan siliwangi sebagai jalan
yang memiliki karakter arsitektur kota yang sangat kuat dibanding ruas jalan
lainnya. Fungsi kawasan jalan siliwangi yang pada umumnya perkantoran,
menjadikan jalan siliwangi tampil sebagai jalan protokol kota yang berkelas.
Jalan siliwangi juga tempat diselenggarakannya acara – acara atau perayaan –
perayaan besar yang memiliki skala kota atau nasional. Agenda-agenda wisata dan
kebudayaan yang secara periodik juga diselenggarakan di ruas jalan siliwangi.
Makna sejarah yang sangat kuat, aktifitas kota yang sangat dinamis dan karakter
fisik yang sangat spesifik adalah perpaduan yang kuat untuk sense of place
jalan siliwangi.
D.
Penutup
Koridor
karangwangi memiliki imageability yang sangat kuat karena berbagai elemen –
elemen yang spesifik dan unik, sehingga mudah diingat bahkan sekalipun koridor
itu tidak di lalui. Adanya folklore atau mitos pada koridor karangwangi
menjadikan koridor karangwangi ini selalu berada dalam benak sebagian besar
warga kota Cirebon khususnya. Koridor karangwangi merupakan koridor utama yang
bisa menjadi perhatian utama dan bisa memberikan kesan pertama bagi pengguna
jalan atau pendatang dari luar kota saat memasuki kota cirebon. Dengan demikian
koridor ini semestinya menjadi ‘landmark’ yang memberikan informasi dan kesan
yang baik tentang kota cirebon. Dengan kata lain koridor ini berpeluang untuk
menjadi ‘Main Street’, simbol atau identitas bagi kota Cirebon.
Dengan
potensi peninggalan budaya yang dimiliki dan beberapa upaya yang dilakukan,
koridor karangwangi akan dapat dikembangkan juga sebagai kawasan yang menjadi
‘image’ bagi kota cirebon. Pada era globalisasi seperti saat ini, adanya main
street sebagai identitas kota atau citra kota dapat berfungsi sebagai penambah
daya tarik wisata bagi kota. Main street menjadi sesuatu yang penting untuk
memperkuat identitas dan wajah kota sehingga membuat kota tersebut menarik dan
memiliki daya tarik bagi wisatawan.
Daftar Pustaka
Antariksa,
Basuki.(2018) : Kebijakan Pembangunan Sadar Wisata : Menuju Daya Saing
Kepariwisataa Berkelanjutan. Intrans Publishing, Anggota IKAPI, Malang, Jawa
Timur.
Atja
(1986) : Carita Purwaka Caruban Nagari ; Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan
Sejarah. Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, Bandung, Indonesia.
Friedmann,
John (1987) : Planning in The Public Domain ; From Knowledge to Action.
Princeton University Press, Princeton – New Jersey.
Goeldner,
Charles,R.,dan Ritchie, J.R.Brent.(2009) : TOURISM ; Principles, Practices,
Philosophies. Published by John Wiley & Sons, Inc, Hoboken, New Jersey.
ICOMOS
(2009) : World Heritage Cultural Landscape : Description of World Heritage
Cultural Landscape with a Bibliography Based on Document Available at the
UNESCO-ICOMOS Document Center, ICOMOS 2009.
Jacobs,
Jane ; The Death and Life of Great American Cities, Random House, New York,
Publication date 1961, Pages 458 (1989 edition), ISBN 0-679-74195-X.
Judisseno,
Rimsky K.(2017) : Aktivitas dan Kompleksitas Kepariwisataan : Suatu Tinjauan Tentang Kebijakan Pengembangan
Kepariwisataan. PT.Gramedia Pustaka Utama, Anggota IKAPI, Jakarta.
Lynch,
Kevin (1960) : The Image Of The City. The MIT Press, Cambridge-Massachusetts.
Lynch,
K., (1981); Theory Of Good City Form, MIT Press, Cambridge.
Mazmanian,
Daniel A., Sabatier Paul A.,(1945) : Implementation And Public Policy. Scott,
Foresman and Company, Dallas.
Mansouri,
A. (2009) ; Comparative Study of Complexity in Streetscape Composition. World
Academy of Science, Engineering and Technology,2009.
Moughtin,
Cliff, (2003) ; “Urban Design : Street And Square”, Architectural Press.
Oktay,
Derya, (2002) ; The Quest For Urban Identity In The Changing Context Of The
City Of Northern Cyprus, Jurnal Cities, Vol 19, No.4., Elsevier Science Ltd.
Prawiraredja,
sugianto, mohammed. (2005) : CIREBON ; Falsafah, Tradisi dan Adat Budaya. Perum
Percetakan Negara RI.
Relph,
E. (1976) ; On The Identity Of Places. In Carmona, Urban Design Reader(pp.
102-107). Oxford: Architectural Press.
Scheffler,
N. (2009) ; Identity And The City: Urban Identity an Asset for sustainable
Development in Times ofg Globalization. URBACT Annual Conference.
Shirvani,
Hamid (1985) : The Urban Design Process : Van Nostrand Reinhold, Universitas
California .
Wibisono,
B.H., (2001) ; Transformation Of Jalan Malioboro, Yogyakarta:The Morphology And
Dynamics Of A Javanese Street. Doctor Of Philosophy Dissertation At Faculty Of
Architecture, Building And Planning, The University Of Melbourne.