Minggu, 18 Oktober 2020

 

 

Peran Widyaiswara Dalam Menghadapi Tantangan Revolusi Industri 4.0

Oleh

Ir.H. Yoyon Indrayana, MT

NIP.19660722 199301 1 001

 

 

Abstrak

 

Kompetensi ASN pada masa era revolusi industri 4.0 yang  dibutuhkan adalah bukan hanya piawai dalam hal teknis saja, namun juga yang memiliki ketrampilan nonteknis. Ketrampilan tersebut meliputi: kemampaun memecahkan masalah kompleks, berpikir kritis, kreatif, manajemen manusia, kemampuan berkoordinasi, serta memiliki kecerdasan emosional. Kemudian juga harus memiliki keterampilan dalam hal memberikan penilaian dan membuat keputusan, berorientasi pelayanan, memiliki kemampuan negosiasi, dan fleksibilitas kognitif. Selain itu juga untuk dapat menjembatani gap (jarak) antar generasi yang kerap muncul dalam dinamika organisasi, perlu kebesaran jiwa generasi old untuk memahami generasi zaman now. Agar bisa menghadapi semua tantangan pada era revolusi Industri 4.0, para pendidik/ widyaiswara mesti terus meningkatkan kompetensi dan melihat tantangan sebagi peluang. Salah satunya yang menjadi syarat penting yang harus dipenuhi adalah bagaimana menyiapkan kualifikasi dan kompetensi widyaisawara  yang berkualitas, Karena meski era revolusi industri 4.0 memberikan sejumlah dampak terhadap dunia pendidikan khususnya kediklatan, namun peran pendidik atau widyaiswara tidak pernah tergantikan oleh kecerdasan buatan apapun. Melalui widyaiswara, dunia pendidikan  dan pelatihan mesti mengonstruksi kreativitas, pemikiran kritis, kerja sama, penguasaan teknologi informasi dan komunikasi serta kemampuan literasi digital.

 

Kata kunci : revolusi indutri 4.0, kompetensi ASN, kompetensi widyaiswara, teknologi informasi

 

 

A.    Pendahuluan

Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan aparatur yang harus siap mengabdi kepada negara dan memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat. Seorang ASN setidaknya harus memiliki  10 kompetensi soft skill (non teknis), seiring perubahan lingkungan saat ini disebabkan salah satunya oleh revolusi industri empat (Industri 4.0). Revolusi industri 4.0 tersebut dapat berpengaruh terhadap pekerjaan, pekerja dan tempat kerja. Pada pekerja khususnya pada para ASN terjadi perubahan sistem atau pola interaksi kerja antara pekerjaan dan pencari kerja. Kompleksitas tantangan ini dilecut oleh beberapa fenomena kekinian. Berkembangnya era revolusi industri 4.0, yang serba otomatis  memasuki era disrupsi teknologi yang bergeser pada era revolusi industri 4.0. World Economic Forum (WEF) menyebut revolusi industri ke empat ini  adalah revolusi berbasis Cyber Physical System yang secara garis besar merupakan gabungan tiga domain yaitu digital, fisik, dan biologi.

Ditandai dengan munculnya fungsi-fungsi kecerdasan buatan (artificial intelligence), mobile supercomputing, intelligent robot, self-driving cars, neuro-technological brain enhancements, era big data yang membutuhkan kemampuan cybersecurity, era pengembangan biotechnology dan genetic editing (manipulasi gen). Kompetensi ASN yang dibutuhkan bukan hanya piawai dalam hal teknis saja, namun juga yang memiliki ketrampilan nonteknis. Ketrampilan tersebut meliputi: kemampaun memecahkan masalah kompleks, berpikir kritis, kreatif, manajemen manusia, kemampuan berkoordinasi, serta memiliki kecerdasan emosional. Kemudian keterampilan dalam hal memberikan penilaian dan membuat keputusan, berorientasi pelayanan, memiliki kemampuan negosiasi, dan fleksibilitas kognitif. Selain itu untuk menjembatani gap (jarak) antar generasi yang kerap muncul dalam dinamika organisasi, perlu kebesaran jiwa generasi old untuk memahami generasi zaman now. Fenomena kekinian ini juga ditopang oleh lahir dan hadirnya generasi milenial yang lebih populer dengan sebutan kids zaman now. Revolusi industri 4.0 dan fenomena Aparatur Sipil Negara (ASN) zaman now membawa preferensi baru yang sedikit banyak mengubah cara pandang kita terhadap sebuah pekerjaan dan tanggung jawab.

Aparatur Sipil Negara atau selama ini kita lebih mengenalnya dengan Pegawai Negeri Sipil Pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang ditugaskan untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintah dan tugas pembangunan tertentu, tanpa kita sadari bahwa para ASN tersebut merupakan generasi milenial yaitu generasi kelahiran tahun 1980 ke atas yang mulai menggantikan generasi Baby Bombers yaitu generasi kelahiran tahun 1980 kebawah. Generasi milenial sangat familiar terhadap teknologi, bagaimana teknologi bisa menghubungkan manusia dengan manusia dan manusia dan teknologi mempermudah atau meringkas urusan manusia. Meski era revolusi industri 4.0 memberikan sejumlah dampak terhadap dunia pendidikan khususnya kediklatan, namun peran pendidik atau widyaiswara tidak pernah tergantikan oleh kecerdasan buatan.

 

B.    Kajian Teoritik

Lee et al (2013) menjelaskan, industri 4.0 ditandai dengan peningkatan digitalisasi manufaktur yang didorong oleh empat faktor: 1) peningkatan volume data, kekuatan komputasi, dan konektivitas; 2) munculnya analisis, kemampuan, dan kecerdasan bisnis; 3) terjadinya bentuk interaksi baru antara manusia dengan mesin; dan 4) perbaikan instruksi transfer digital ke dunia fisik, seperti robotika dan 3D printing.

Lifter dan Tschiener (2013) menambahkan, prinsip dasar industri 4.0 adalah penggabungan mesin, alur kerja, dan sistem, dengan menerapkan jaringan cerdas di sepanjang rantai dan proses produksi untuk mengendalikan satu sama lain secara mandiri. Industri 4.0 merupakan industri yang menggabungkan teknologi otomatisasi dengan teknologi cyber. Ini merupakan tren otomatisasi dan pertukaran data dalam teknologi manufaktur, termasuk sistem cyber-fisik, internet untuk segala atau Internet of Things (IoT), komputasi awan dan komputasi kognitif. Industri 4.0 menghasilkan “pabrik cerdas”.

Era revolusi industri 4.0 mengubah konsep pekerjaan, struktur pekerjaan, dan kompetensi yang dibutuhkan dunia pekerjaan. Sebuah survei perusahaan perekrutan internasional, Robert Walters, bertajuk Salary Survey 2018 menyebutkan, fokus pada transformasi bisnis ke platform digital telah memicu permintaan profesional sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi yang jauh berbeda dari sebelumnya. Era revolusi industri 4.0 juga mengubah cara pandang tentang pendidikan. Perubahan yang dilakukan tidak hanya sekadar cara mengajar, tetapi jauh yang lebih esensial, yakni perubahan cara pandang terhadap konsep pendidikan itu sendiri

 

C.    Pembahasan

 

1.     Tantangan Revolusi Industri 4.0

Saat ini, revolusi industri keempat (4.0) mengubah ekonomi, pekerjaan, dan bahkan masyarakat itu sendiri. Hakikat Industri 4.0, merupakan penggabungan teknologi fisik dan digital melalui analitik, kecerdasan buatan, teknologi kognitif, dan Internet of Things (IoT) untuk menciptakan perusahaan digital yang saling terkait dan mampu menghasilkan keputusan yang lebih tepat. Perusahaan digital dapat berkomunikasi, menganalisis, dan menggunakan data untuk mendorong tindakan cerdas di dunia fisik. Singkatnya, revolusi ini menanamkan teknologi yang cerdas dan terhubung tidak hanya di dalam perusahaan, tetapi juga kehidupan sehari-hari kita. World Economic Forum (WEF) menyebut Revolusi Industri 4.0 adalah revolusi berbasis Cyber Physical Systemyang secara garis besar merupakan gabungan tiga domain yaitu digital, fisik, dan biologi. Ditandai dengan munculnya fungsi-fungsi kecerdasan buatan (artificial intelligence), mobile supercomputingintelligent robotself-driving carsneuro-technological brain enhancements, era big data yang membutuhkan kemampuan cybersecurity, era pengembangan biotechnology dan genetic editing (manipulasi gen).

Dunia Pendidikan setidaknya harus mampu menyiapkan peserta didiknya menghadapi tiga hal: a) menyiapkan peserta didik untuk bisa bekerja yang pekerjaannya saat ini belum ada; b) menyiapkan peserta didik untuk bisa menyelesaikan masalah yang masalahnya saat ini belum muncul, dan c) menyiapkan peserta didik untuk bisa menggunakan teknologi yang sekarang teknologinya belum ditemukan. Sungguh sebuah pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi dunia pendidikan. Untuk bisa menghadapi tantangan tersebut, syarat penting yang harus dipenuhi adalah bagaimana menyiapkan kualifikasi dan kompetensi guru yang berkualitas.

 

2.     Peran Widyaiswara pada era Revolusi Industri 4.0

Agar bisa menghadapi semua tantangan pada era revolusi Industri 4.0, pendidik/widyaiswara mesti terus meningkatkan kompetensi dan melihat tantangan sebagi peluang. Salah satunya yang menjadi syarat penting yang harus dipenuhi adalah bagaimana menyiapkan kualifikasi dan kompetensi widyaisawara  yang berkualitas. karena di era revolusi industri 4.0 profesi pendidik makin kompetitif.  Para pendidik, peserta didik, dan  lulusan sebuah pendidikan dan pelatihan dituntut beradaptasi dengan perubahan, dan proses pendidikan harus menyentuh kenyataan sosial yang sebenarnya.

Seorang widyaiswara harus menguasai, bukan dikuasai oleh kemajuan. Menghadapi revolusi industri 4.0 tentu bukan hal mudah. Sederet hal perlu dipersiapkan, misalnya saja dengan merubah metode pembelajaran dalam dunia pendidikan yang ada saat ini. Kita memiliki potensi yang tinggi untuk menciptakan  ASN berkelas dunia dengan mengombinasikan berbagai sistem pelatihan yang progresif dan edukatif seperti e-learning, coaching, mentoring dan on the job training. Dengan sistem ini, harapan kita mampu untuk meningkatkan kualitas ASN di Indonesia segera terwujud.

Setidaknya terdapat lima kualifikasi dan kompetensi seorang pendidik termasuk widyaiswara  yang dibutuhkan di era 4.0. Kelimanya meliputi:

1.     Educational competence, kompetensi mendidik/pembelajaran berbasis internet of thing sebagai basic skill di era ini;

2.     Competence for technological commercialization, punya kompetensi membawa peserta  memiliki sikap entrepreneurship (kewirausahaan) dengan teknologi atas hasil karya inovasi setiap pembelajar/ peserta.

3.     Competence in globalization, dunia tanpa sekat, tidak gagap terhadap berbagai budaya, kompetensi hybrid, yaitu global competence dan keunggulan memecahkan problem nasional;

4.     Competence in future strategies, dunia mudah berubah dan berjalan cepat, sehingga punya kompetensi memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi di masa depan dan strateginya, dengan cara joint-lecture, joint-research, joint-resources, staff mobility dan rotasi,  dan lain sebagainya.

5.     Counselor competence, mengingat ke depan masalah peserta diklat bukan pada kesulitan memahami materi ajar, tapi lebih terkait masalah psikologis, stres akibat tekanan keadaan yang makin komplek dan berat.

 

Tak terkecuali dalam pembelajaran, perubahan bisa dengan melakukan reorientasi kurikulum untuk membangun kompetensi era revolusi industri 4.0 dan menyiapkan pembelajaran berbasis daring  (online learning) dalam bentuk hybrid atau blended learning. Melalui widyaiswara, dunia pendidikan  dan pelatihan mesti mengonstruksi kreativitas, pemikiran kritis, kerja sama, penguasaan teknologi informasi dan komunikasi serta kemampuan literasi digital.

 

D.    Penutup

Seorang widyaiswara harus menguasai, bukan dikuasai oleh kemajuan. Terlebih dalam menghadapi revolusi industri 4.0 saat ini tentu bukan hal mudah. Banyak yang perlu dipersiapkan, misalnya saja dengan merubah metode pembelajaran dalam dunia pendidikan yang ada saat ini. Widyaiswara dituntut menguasi kompetensi kognitif, kompetensi sosial-behavioral, dan kompetensi teknikal dalam menghadapi era revolusi industri 4.0. Kompetensi kognitif mencakup kemampuan literasi dan numerasi, serta kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kompetensi social behavioral, mencakup keterampilan sosial emosional, keterbukaan, ketekunan, emosi yang stabil, kemampuan mengatur diri, keberanian memutuskan dan keterampilan interpersonal. Kompetensi teknikal yang merupakan keterampilan teknis yang sesuai bidang pekerjaan yang digeluti, dan ini terkait dengan pendidikan vokasi. Kita harus tetap optimis bahwa kita memiliki potensi yang tinggi untuk menciptakan  ASN berkelas dunia dimasa yang akan datang.

 

Daftar Pustaka

Afandi & Sajidan. 2017. Stimulasi Keterampilan Tingkat Tinggi. UNSPRESS.

Amir, T.M, 2009. Inovasi Pendidikan melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pembelajar di Era Pengetahuan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Dimyati dan Mudjiono.1994. Belajar dan Mengajar. Jakarta; Rineka Cipta.

Joyce, B & Weil, M. 2000. Models of Teaching. Boston: Allyn & Bacon

 Kuntari Eri Murti. 2013. Pendidikan Abad 21 Dan Implementasinya Pada Pembelajaran Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Untuk Paket Keahlian Desain Interior

Lewis, A., & Smith, D. 1993. Defining High Order Thinking. Theory into Practice, 32 (3): 131-137

Maya Bialik & Charles Fadel. 2015. Skills for the 21st Century: What Should Students Learn?. Center for Curriculum Redesign Boston, Massachusetts

N. J. Mourtos, N. DeJong Okamoto & J. Rhee. 2004. Defining, teaching, and assessing problem solving skills. San Jose State University San Jose, California 95192-0087

Siti Zubaidah. 2016. Keterampilan Abad Ke-21: Keterampilan Yang Diajarkan Melalui Pembelajaran.

 

PROVINSI CIREBON, EKSPEKTASI YANG TERTUNDA

Oleh. Yoyon Indrayana

Program Doktor Administrasi Publik, Universitas Diponegoro

 

Arti ekspektasi adalah suatu harapan atau keyakinan yang diharapkan akan menjadi kenyataan di masa depan yang dianggap akan memberikan dampak yang baik atau lebih baik. Sengaja saya mengawali tulisan saya dengan kata ekspektasi untuk memberikan gambaran sejak awal, bahwa seandainya provinsi Cirebon terbentuk tujuananya tidak ada kata lain untuk memberikan dampak yang lebih baik bagi kesejahteraan warga masyarakat Cirebon. Tentu saja yang dimaksud Cirebon dalam hal ini adalah warga masyarakat di wilayah-wilayah yang tergabung dalam provinsi Cirebon. Sehingga diperlukan orang-orang yang betul-betul memiliki komitmen dan kepedulian yang tinggi pada kesejahteraan masyarakat untuk dapat merumuskan berdirinya provinsi Cirebon.

Latar belakang sejarah kesultanan Cirebon, sebenarnya secara spasial sudah jelas menunjukan bahwa wilayah Cirebon itu bukan hanya yang saat ini kita kenal sebagai kota Cirebon atau kabupaten Cirebon saja. Pada periode Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati (1479-1568) memimpin Cirebon merupakan masa perkembangan sekaligus masa kejayaan Islam di Cirebon. Pada masa itu, bidang politik, keagamaan, dan perdagangan, maju sangat pesat. Syarif Hidayatullah meninggalkan istananya untuk melakukan dakwah di beberapa wilayah di Jawa Barat, semisal Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kalapa, dan Banten. Pada masa itu pula berlangsung  penyebaran Islam ke Banten (sekitar 1525-1526) melalui penempatan salah seorang putra Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin.  Peristiwa itu terjadi setelah keruntuhan pemerintahan Pucuk Umum, penguasa kadipaten dari Kerajaan Sunda Pajajaran yang berkududukan di Banten Girang. Kemajuan Islam pada era Syarif Hidayatullah tidak berhenti pada terbentuknya pusat pemerintahan di bawah pimpinan  Maulana Hasanuddin yang terletak di Surosowan, dekat Muara Cibanten, tetapi pengembangan juga dilakukan ke arah Priangan Timur, antara lain ke Kerajaan Galuh (tahun 1528), kemudian Talaga (tahun 1530). Wilayah kekuasaan kasultanan Cirebon sampai tahun 1530 M, meliputi hampir separuh dari Jawa Barat, yaitu Indramayu, Krawang, Bekasi, Tangerang, dan Serang (Banten). Di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, 2/3 wilayah Jawa Barat berhasil diislamkan.

Sejak awal berdirinya Cirebon terdiri dari berbagai macam suku dan etnis.  Masyarakat Cirebon berasal dari suku bangsa tersendiri, yang tercipta dari akulturasi budaya yang berjalan dan berproses selama ratusan tahun. Cirebon sebagai sebuah suku memiliki bahasa tersendiri, adat istiadat sendiri, berbagai kesenian, dan budaya tersendiri.  Menurut Kitab Purwaka Caruban Nagari, Suku Cirebon merupakan perpaduan antara 2 suku besar, yaitu Suku Jawa dan Suku Sunda. Akulturasi kedua suku tersebut melahirkan suku yang mandiri, yaitu Suku Cirebon. Nama Cirebon sendiri berasal dari kata "Sarumban", yang jika diucapkan maka menjadi "Caruban". Seiring perkembangan Caruban berubah menjadi Cerbon. Cerbon dan akhirnya menjadi Cirebon. Sarumban memiliki arti campuran, maka Cirebon berarti campuran. Orang atau etnis Cirebon adalah kelompok etnis yang tersebar di sekitar Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka bagian Utara atau biasa disebut sebagai wilayah "Pakaleran". Selanjutnya, etnis Cirebon juga menyebar ke Kabupaten Kuningan, sebelah Utara Kabupaten Subang. Bagian Utara mulai dari Blanakan, Pamanukan hingga Pusakanagara dan sebagian pesisir Utara Kabupaten Karawang, mulai dari pesisir Pedes hingga Cilamaya di Jawa Barat. Selain itu juga di sekitar Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Karena pada saat itu Cirebon banyak didatangi orang dari berbagai negara/etnis , seperti Arab dan China, yang kemudian mereka tinggal menetap di Cirebon yang pada akhirnya juga ikut mempengaruhi kebudayaan masyarakat Cirebon. Bahasa yang  dituturkan oleh orang Cirebon adalah gabungan dari bahasa Jawa, Sunda, Arab, dan Mandarin, yang mereka sebut sebagai bahasa Cirebon. Mereka juga memiliki dialek Sunda tersendiri yang disebut bahasa Sunda Cirebon. Pada mulanya keberadaan etnis atau orang Cirebon selalu dikaitkan dengan keberadaan Suku Sunda dan Jawa, namun kemudian eksistensinya mengarah kepada pembentukan budaya tersendiri.

Dengan latar belakang historis yang cukup kuat, mestinya bukan hal yang sulit untuk dapat berdirinya provinsi Cirebon. Provinsi Cirebon dengan berbagai macam ragam etnis dan budayanya bisa menjadi provinsi yang memiliki banyak keunggulan dibanding provinsi-provinsi lain di Indonesia. Wilayah-wilayah yang termasuk wilayah Cirebon saat ini ,yaitu ; Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan ( Ciayumajakuning ) memiliki potensi yang sangat bagus dengan ciri kekuatan masing-masing; kabupaten Cirebon dengan kawasan industri dan pertaniannya; kabupaten Majalengka dengan kawasan industri, pertanian dan wisata alamnya; kabupaten Kuningan dengan sumber air bersih, pertanian dan wisata alamnya; kabupaten Indramayu dengan kawasan pertanian dan industri minyaknya; dan kota Cirebon dengan perdagangan dan jasanya. Ini tentu saja dapat menjadi modal yang sangat besar bagi terbentuknya provinsi Cirebon kedepan. Kalau semua potensi tadi dapat dikelola dan kembangkan dengan baik, tentu saja akan mendatangkan kesejahteraan bagi penduduk Ciayumajakuning yang saat ini kalau digabungkan tidak sampai berjumlah 7 juta jiwa.

Secara geografis wilayah Cirebon memiliki posisi yang sangat strategis di pesisir utara pulau Jawa. Hampir semua moda transportasi darat yang bergerak dari timur pulau Jawa ke barat pulau Jawa ataupun sebaliknya semua melewati wilayah Cirebon. Posisi ini jelas menjadi unggulan bagi wilayah Cirebon dibanding wilayah-wilayah lain di pulau Jawa. Bahkan untuk wilayah Jawa Barat, wilayah Cirebon paling unggul dibanding wilayah-wilayah lain bahkan dengan ibukota provinsi Jawa barat, Bandung sekalipun. Begitu juga aksesibilitas ke ibu kota negara Jakarta, dari wilayah Cirebon dapat dijangkau dengan sangat mudah dan cepat.  Tersedianya infrastruktur transportasi darat yang sangat layak seperti jalur kereta api atau jalan bebas hambatan ( Jalan Tol ), sangat membantu pergerakan warga masyarakat di wilayah Cirebon untuk mengurusi segala kepentingannya. Kemudahan akses ini jelas sangat menguntungkan bagi wilayah Cirebon dan sekitarnya, bisa  diprediksi  provinsi Cirebon pada masa yang akan datang dapat menjadi yang terdepan/terdekat dengan ibukota negara Jakarta, dibanding dengan provinsi Jawa Barat ataupun provinsi Banten. Saat ini pun mobilitas pergerakan warga masyarakat Cirebon ke Jakarta lebih besar dibanding pergerakan warga masyarakat Cirebon ke Bandung.

Didalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) tahun 2008 telah ditetapkan bahwa kawasan metropolitan Cirebon, kawasan metropolitan Bandung Raya dan kawasan metropolitan Jabodetabek adalah sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Ini bisa diartikan bahwa secara analisis spasial ketiga wilayah memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang sebagai kawasan metropolitan kedepan. Demikian halnya dengan kawasan metropolitan Cirebon dengan potensi dan kemampuan wilayah yang ada sangat dimungkinkan berkembang sebagai provinsi Cirebon. Dengan didukung berbagai infrastruktur pembangunan yang ada, seperti ; Bandara Internasional Kertajati, Pelabuhan Cirebon/ Pelabuhan Indramayu, Jalan Tol, dan lain sebagainya, dapat menjadi modal yang cukup lengkap dan kuat untuk berdirinya provinsi Cirebon.

Provinsi Cirebon sebagai ekspektasi dari warga masyarakat wilayah Cirebon harus memiliki tujuan atau orientasi pada kesejahteraan warga masyarakatnya. Kesejahteraan meliputi seluruh bidang kehidupan manusia. Mulai dari ekonomi, sosial, budaya, iptek, hankamnas, dan lain sebagainya. Bidang-bidang kehidupan tersebut meliputi jumlah dan jangkauan pelayanannya. Pemerintah memiliki kewajiban utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warganya. Ada beberapa indikator utama kesejahteraan, diantaranya adalah. Pertama, Jumlah dan pemerataan pendapatan. Hal ini berhubungan dengan masalah ekonomi. Pendapatan berhubungan dengan lapangan kerja, kondisi usaha, dan faktor ekonomi lainnya. Penyediaan lapangan kerja mutlak dilakukan oleh semua pihak agar masyarakat memiliki pendapatan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidupnyan. Tanpa itu semua, mustahil manusia dapat mencapai kesejahteraan. Tanda-tanda masih belum sejahteranya suatu kehidupan masyarakat adalah jumlah dan sebaran pendapatan yang mereka terima. Kesempatan kerja dan kesempatan berusaha diperlukan agar masyarakat mampu memutar roda perekonomian yang pada akhirnya mampu meningkatkan jumlah pendapatan yang mereka terima. Dengan pendapatan yang mereka terima, masyarakat dapat melakukan transaksi ekonomi. Saat ini rata-rata Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) di wilayah Cirebon berkisar diangka 2 juta rupiah, tentu ini menjadi pekerjaan rumah yang berat  bagi pemerintah agar dapat menaikan UMK kedepan paling tidak sama atau setara dengan UMK diwilayah Jabodetabek saat ini sekitar 4 juta rupiah. Kedua, pendidikan yang semakin mudah untuk dijangkau. Mudah disini dalam arti jarak dan nilai yang harus dibayarkan oleh masyarakat. Pendidikan yang mudah dan murah merupakan impian semua orang. Dengan pendidikan yang murah dan mudah itu, semua orang dapat dengan mudah mengakses pendidikan setinggi-tingginya. Dengan pendidikan yang tinggi itu, kualitas sumberdaya manusianya semakin meningkat. Dengan demikian kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin terbuka. Berkat kualitas sumberdaya manusia yang tinggi ini, lapangan kerja yang dibuka tidak lagi berbasis kekuatan otot, tetapi lebih banyak menggunakan kekuatan otak. Fasilitas pendidikan dibangun dengan jumlah yang banyak dan merata, disertai dengan peningkatan kualitas, serta biaya yang murah. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan tidak hanya terbuka bagi mereka yang memiliki kekuatan ekonomi, atau mereka yang tergolong cerdas saja. Tapi, semua orang diharuskan untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Sementara itu, sekolah juga mampu memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya. Pendidikan disini, baik yang bersifat formal maupun non formal. Kedua jalur pendidikan ini memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama dari pemerintah dalam memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat. Angka melek huruf menjadi semakin tinggi, karena masyarakatnya mampu menjangkau pendidikan dengan biaya murah. Kesejahteraan warga dapat dilihat dari kemampuan mereka untuk mengakses pendidikan, serta mampu menggunakan pendidikan itu untuk meraih kebutuhan hidupnya. Ketiga, kualitas kesehatan yang semakin meningkat dan merata. Kesehatan merupakan faktor untuk mendapatkan pendapatan dan pendidikan. Karena itu, faktor kesehatan ini harus ditempatkan sebagai hal yang utama dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat yang sakit akan sulit memperjuangkan kesejahteraan dirinya. Jumlah dan jenis pelayanan kesehatan harus sangat banyak. Masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan tidak dibatasi oleh jarak dan waktu. Setiap saat mereka dapat mengakses layanan kesehatan yang murah dan berkualitas. Lagi-lagi, ini merupakan kewajiban pemerintah yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Apabila masih banyak keluhan masyarakat tentang layanan kesehatan, maka itu pertanda bahwa pemerintah  masih belum mampu mencapai taraf kesejahteraan yang diinginkan oleh warga masyarakatnya. Jadi siapapun yang menjadi pemimpin di provinsi Cirebon kedepan harus betul-betul mampu bukan saja memahami tetapi melaksanakan pencapaian tujuan didirikannya provinsi Cirebon. Bukan hal yang mudah tetapi bukan hal yang tidak mungkin.

Menurut Gabrielle Ferrazzi, Pemekaran Wilayah dapat dilihat sebagai bagian dari proses penataan daerah atau teritorial reform atau administrative reform yaitu; management of the size, shape and hierarchy of local goverment units fot the purpose of achieving political and administravite goals. Penataan daerah umumnya mencakup pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah. Ferrazzi berpendapat bahwa grand strategi otonomi daerah yang optimal tidak berhenti pada menentukan beberapa jumlah daerah otonom yang ideal di suatu negara, namun lebih dari itu, harus mampu menjawab pertanyaan apa sebenarnya hakikat otonomi daerah di negara bersangkutan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah mengisyaratkan perlunya daerah baru yang dimaksud untuk meningkatkan pelayanan, kepada masnyarakat guna mewujudkan kesejahteraan masnyarakat.

Menurut Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2007, Pemekaran daerah/ wilayah adalah pemecahan suatu pemerintah baik propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa / Kelurahan menjadi dua daerah atau lebih. Menurut Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000, tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan pengabungan daerah, pada pasal 2 menyebutkan pemekaran daerah/wilayah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui : Percepatan pelayanan kepada masyarakat; Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; Percepatan pertumbuhan pembangunan ekonomi daerah; Percepatan pengelolaan potensi daerah; Peningkatan keamanan dan ketertiban; dan Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Untuk mencapai tujuan itu semua perlu adanya peningkatkan kualitas sumber daya aparatur disegala bidang, karena peran sumber daya manusia diharapkan dapat meningkatkan kinerja organisasi dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat serta mendukung dalam pengembangan wilayah didaerah. Strategi pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan melalui proses akumulasi dan utilisasi modal manusia telah terbukti memiliki peran strategis bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat luas.

Membentuk sebuah pemerintahan yang baru seperti provinsi Cirebon bukan hal yang mudah, membutuhkan dukungan dana dan suberdaya manusia yang besar. Meski harapan masyarakat adalah dengan adanya pemekaran akan mendekatkan pelayanan pemerintah dan pembangunan berjalan dengan cepat. Namun ada kemungkinan yang terjadi malah sebaliknya. Dengan dana pembangunan fasilitas perkantoran pemerintahan yang baru serta sarana lainnya, ditambah lagi biaya aparatur yang semakin bertambah jumlahnya, malah pelayanan dan kesejahteraan masyarakat menjadi terabaikan. Tahun-tahun pertama pemerintah daerah akan sibuk menata fasilitas pemerintahan, dan belum dapat memperhatikan masyarakat. Namun, jika kita lihat efek pemekaran dalam jangka panjang, banyak sisi positif pemekaran daerah. Dengan pembentukan provinsi Cirebon akan memperkecil rentang kendali suatu daerah/wilayah di Ciayumajakuning, maka akan mempermudah dan memperdekat pelayanan pemerintah kepada masyarakat, sekaligus memperkecil biaya operasional jalannya pemerintahan. Dengan pemerintah daerah yang mengelola daerahnya secara mandiri dalam wilayah yang tidak terlalu luas dan penduduk yang tidak terlalu banyak, maka potensi-potensi yang ada di daerah dapat dikelola secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat daerah tersebut.

Tentu saja akan banyak tantangan dan pro kontra terhadap pembentukan provinsi Cirebon , tetapi dengan melihat latar belakang sejarah, potensi kewilayahan yang dimiliki, posisi yang sangat strategis secara geografis dan juga aksesibilitas yang mudah ke berbagai wilayah, tentu ini akan menjadi ekspektasi yang sangat besar bagi warga masyarakat di wilayah Ciayumajakuning, karena tidak dapat dipungkiri bahwa ini merupakan salah satu cara yang masih dipercaya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah Ciayumajakuning dan sekitarnya.

 

 

 

 

 

 

 

Rabu, 09 September 2020

 

KERANGKA ACUAN KERJA PENELITIAN

 

KEPEMIMPINAN YANG AGILE(TANGKAS), ADAPTIF DAN BERINTEGRITAS BAGI APARATUR SIPIL NEGARA

TAHUN 2021

 

 

A.         PENDAHULUAN

1.    Dasar Hukum

a.              Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;

b.              Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil;

c.               Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara nomor 1 Tahun 2004 tentang Pedoman Seleksi Calon Peserta Pendidikan dan Pelatihan kepemimpinan (diklatpim) Tingkat I, II, III, IV.

2.    Latar Belakang

Daya saing merupakan kunci bagi suatu organisasi dalam melakukan pembangunan yang berkelanjutan. Organisasi yang berorientasi kepada daya saing akan menghasilkan lebih banyak, lebih cepat, dan lebih baik, namun dengan sedikit menggunakan sumber daya (Janssen & Estevez, 2013). Governance (tata kelola) memegang peranan penting dalam meningkatkan maupun menjaga daya saing. Governance sangat berhubungan dengan kemampuan untuk mengarahkan (to steer) elemen-elemen yang ada didalam negara (Bloom, 1991). Dalam lingkungan yang dinamis, governance masih memegang peranan penting terutama dalam merespon, mengelola hingga membuat keputusan berkaitan perubahan lingkungan yang terjadi. Respon yang diberikan oleh organisasi haruslah cepat dan tepat dikarenakan semakin lama organisasi bertindak maka akan mengalami tantangan perubahan lingkungan lainnya (Lusch, Vargo, dan Tanniru, 2009; Kozlowski et. al, 2009). Oleh karena itu, tata kelola pemerintahan yang agile (Agile Governance) menjadi keharusan bagi negara dalam menghadapi krisis eksistensi di era VUCA saat ini.

Kepemimpinan yang mampu menghadapi perubahan dan ketidakpastian dimasa akan datang, kemampuan bekerja lintas negara dan lintas budaya serta kemampuan menciptakan lingkungan yang inovatif adalah hal yang harus dimiliki oleh pemimpin di Indonesia dalam era VUCA. Daya Dimensi Indonesia mengatakan bahwa pemimpin di Indonesia menunjukkan bahwa kemampuan bekerja lintas Negara dan budaya yang dimiliki baru pada level 32% (dunia 34%), sementara kemampuan untuk lebih adaptif terhadap kondisi dinamis masih pada level 52% (dunia 58%). Jika dibandingkan dengan lingkup dunia, pemimpin di Indonesia memiliki peluang yang sangat baik untuk dapat menghadapi VUCA, asalkan mereka menyadari bahwa mereka harus mengubah fokus kritikal dari kemampuan mereka dimasa akan datang.

3.    Rumusan Masalah

Perlunya kepemimpinan nasional maupun daerah yang memiliki kemampuan untuk menghadapi era VUCA. Mampu menghadapi perubahan yang sangat cepat (Volatility), menghadapi kondisi yang serba tidak pasti dan tidak dapat diprediksi sebelumnya (Uncertainty), menghadapi situasi yang sangat kompleks karena banyak faktor yang mempengaruhi (Complexity) dan menghadapi ketidak jelasan suatu kejadian karena terlalu banyak penafsiran yang berbeda (Ambiguity).

 

B.        LANDASAN TEORI

1.    Kepemimpinan yang Agile (Tangkas)

Seorang agile leader harus mempunyai kualitas growth mindset. Istilah fixed vs growth mindset dicetuskan oleh Carol Dweck, profesor psikologi dari Universitas Stanford. Growth mindset adalah pola pikir orang yang terbuka terhadap segala macam informasi. Ini adalah tipikal orang yang tidak mudah menyerah, dan mempunyai agile spirit. Menurut riset Korn Ferry, pemimpin yang disebut super agile adalah mereka yang memiliki ciri sebagai berikut: People Agility, Change Agility, Result Agility, Mental Agility dan Learning Agility.

2.    Kepemimpinan Adaptif

Rainer Turangan (2015), menjelaskan bahwa jika dikaitkan dengan tantangan masa depan, seorang pemimpin yang baik setidaknya memiliki kemampuan untuk adaptif terhadap ketidakpastian masa depan, kemampuan untuk bekerja lintas wilayah/ negara dan lintas budaya serta kemampuan untuk menciptakan lingkungan yang inovatif. Tindakan kepemimpinan yang adaptif dan visioner tentunya terkait dengan perubahan atas ketidakjelasan situasi masa depan. Rozan Anwar (2015) Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan cara: Create a Felt Need for Change (Ciptakan Kebutuhan Akan Perubahan), Introduce the Change (Perkenalkan Perubahan), Revise and Finalize the Change Plan (Merevisi dan Menyelesaikan Rencana Perubahan), dan Stabilize and Sustain the Change (Stabilkan dan Pertahankan Perubahan).

3.    Kepemimpinan Berintegritas

Integritas juga berhubungan erat dengan standar-standar moral dan kejujuran intelektual yang menjadi kerangka tingkah laku kita (Warren Bennis, 2001). Integritas adalah sikap perilaku yang menyatukan utuh antara perkataan, pikiran, perasaan hati nurani dan tindakannya sebagaimana yang dikutip dari John C Maxwell (hal 52), dalam bukunya berjudul ‘Developing The Leader Within You’. Adapun nilai-nilai integritas sebagaimana dijelaskan Sujanarko, dkk, (2015), dalam buku ‘Budaya Integritas Semakin Jauh Dari Korupsi’, dapat ditanamkan sejak usia dini sebagai berikut : jujur, peduli, disiplin, sederhana, berani, mandiri, tanggung jawab, kerja keras, dan adil.

 

C.         MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud dan tujuan dilaksanakannya penelitian Kepemimpinan yang Agile (Tangkas), Adaptif dan berintegritas bagi Aparatur Sipil Negara adalah melakukan analisa untuk mengetahui potensi, motivasi dan gaya kepemimpinan para ASN yang menduduki jabatan eselon-3 saat ini, apakah saat di promosikan ke eselon-2 mereka mampu menjadi pemimpin yang agile (tangkas), adaptif dan berintegritas untuk menghadapi era VUCA dimasa depan.

 

D.        MANFAAT KEGIATAN

Hasil kegiatan penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan masukan bagi Pemerintah untuk menyiapkan kepemimpinan aparatur sipil negara yang siap menghadapi era VUCA kedepan.

 

E.         RUANG LINGKUP

Penelitian Kepemimpinan yang Agile (Tangkas), Adaptif dan berintegritas bagi Aparatur Sipil Negara di wilayah kabupaten/ kota yang ada yang saat ini telah menduduki jabatan eselon-3.

 

F.         SASARAN

1.    Menyiapkan Aparatur Sipil Negara yang saat ini menduduki jabatan eselon-3, agar memiliki kemampuan kepemimpinan yang agile(tangkas), adaptif dan berintegritas.

2.    Meningkatkan kompetensi kepemimpinan aparatur pemerintah untuk dapat menghadapi era VUCA dimasa depan.

 

G.        LOKASI KEGIATAN

Lokasi kegiatan penelitian Kepemimpinan yang Agile (Tangkas), Adaptif dan berintegritas adalah untuk Aparatur Sipil Negara yang ada di wilayah kabupaten/ kota.

 

H.        JADWAL KEGIATAN

Jadwal kegiatan penelitian Kepemimpinan yang Agile (Tangkas), Adaptif dan berintegritas bagi Aparatur Sipil Negara, sesuai surat perintah yang akan dikeluarkan untuk jangka waktu pelaksanaan 3(tiga) bulan.

 

I.          KELUARAN

Kegiatan penelitian Kepemimpinan yang Agile (Tangkas), Adaptif dan berintegritas bagi Aparatur Sipil Negara pada tahun 2021, dapat memberikan keluaran dalam bentuk data potensi ASN yang memiliki kompetensi  kepemimpinan yang Agile(Tangkas), adaptif dan berintegritas.

 

J.          ANGGARAN

Anggaran yang diperlukan dalam Kegiatan penelitian Kepemimpinan yang Agile (Tangkas), Adaptif dan berintegritas ini adalah sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah)

 

K.        PENUTUP

Penyusunan Kerangka Acuan Kinerja (KAK) kegiatan penelitian kepemimpinan yang agile(tangkas), adaptif dan berintegritas bagi aparatur sipil negara di provinsi jawa tengah tahun 2021 ini digunakan sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan sehingga diharapkan program kegiatan dapat berjalan dengan baik dan tujuan dapat tercapai.

 

 

Selasa, 18 Agustus 2020

Koridor Karangwangi Sebagai ‘Main Street’ Kota Cirebon

 

Koridor Karangwangi Sebagai ‘Main Street’ Kota Cirebon

Penulis:

Yoyon Indrayana1

 

Abstraksi

Koridor karangwangi adalah salah satu jalan protokol di kota cirebon, yang merupakan gabungan dari 2(dua) ruas jalan , yaitu jalan karanggetas dan jalan siliwangi. Koridor karangwangi memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi dan peran yang sangat penting bagi kota cirebon. Melihat sejarah yang dimiliki pada Koridor Karangwangi, ini dapat mejadi potensi yang sangat menarik untuk pengembangan ‘Main Street’ pada koridor jalan dimaksud. Adanya folklore atau mitos pada koridor karangwangi menjadikan koridor karangwangi ini selalu berada dalam benak sebagian besar warga kota Cirebon khususnya. Koridor karangwangi merupakan koridor utama yang bisa memberikan kesan pertama bagi pengguna jalan atau pendatang dari luar kota saat memasuki kota cirebon. Dengan demikian koridor ini semestinya menjadi ‘landmark’ yang memberikan informasi dan kesan yang baik tentang kota cirebon. Dengan kata lain koridor ini berpeluang untuk menjadi ‘Main Street’, simbol atau identitas bagi kota Cirebon. Menurut Jacobs(1993), Beberapa kota memiliki jalan yang bermakna dan menimbulkan persepsi kuat bagi pengguna. Jalan tersebut dianggap memiliki kenangan (image) dan suasana yang lebih menarik atau lebih menyenangkan dari pada jalan-jalan yang lain, sehingga orang selalu mengingatnya dan ingin kembali ke jalan yang sama ketika berada di kota tersebut. Pada era globalisasi seperti saat ini, adanya main street sebagai identitas kota atau citra kota dapat berfungsi sebagai penambah daya tarik wisata bagi kota. Main street menjadi sesuatu yang penting untuk memperkuat identitas dan wajah kota sehingga membuat kota tersebut menarik dan memiliki daya tarik bagi wisatawan.

Kata kunci :

koridor karangwangi, landmark, main street, identitas kota, wisata perkotaan

 

A.    Pendahuluan

Kota Cirebon adalah salah satu kota yang berada diperbatasan antara propinsi  jawa barat dan propinsi jawa tengah yang cukup ramai. Posisinya yang sangat strategis, berada diperlintasan lalu-lintas yang menghubungkan kedua propinsi di pulau jawa itu menjadikan kota cirebon sangat sibuk dengan aktifitas yang tidak saja dilakukan oleh warga kota cirebon, tetapi juga warga disekitar kawasan hinterland kota cirebon. Kota cirebon memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan kota-kota lain disekitarnya. Sehingga jumlah penduduk kota yang sebenarnya hanya kurang lebih 350.000 jiwa, tapi pada saat siang hari bisa mencapai 3(tiga) kali lipatnya.

Kota Cirebon yang didirikan pada tanggal 1 muharram 791 H, telah mengalami periode perkembangan sejarah yang cukup panjang. Didalam periode tersebut banyak sekali nilai-nilai maupun peristiwa sejarah yang berlangsung sehingga membentuk karakteristik kota yang ada saat ini. Walaupun begitu sisa-sisa peninggalan masa lampau berupa karya arsitektur, kekayaan seni, tradisi dan budaya tetap bertahan seiring dengan perkembangan jaman sebagai Living Monument. Hal tersebut menjadikan kota cirebon sangat layak untuk disebut sebagai Kota Wisata Budaya atau Kota Pusaka Nasional, bahkan mungkin bisa sebagai Kota Pusaka Dunia (World Heritage City). Dengan banyaknya warisan budaya dari berbagai periode sejarah yang dimiliki maka tidaklah diragukan lagi bahwa keunggulan nilai warisan budaya di kota Cirebon memiliki nilai yang sangat tinggi dan harus dilestarikan dan dipelihara sebagai bagian dari upaya melestarikan budaya bangsa.

Koridor karangwangi yang merupakan gabungan dari 2(dua) ruas jalan , yaitu jalan karanggetas dan jalan siliwangi, memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi dan peran yang sangat penting bagi kota cirebon. Koridor karangwangi juga berfungsi sebagai jalan protokol kota cirebon, jalan karanggetas dengan fungsi utama kawasan perdagangan, sedangkan jalan siliwangi dengan fungsi utama jasa dan perkantoran. Jalan karanggetas dikenal sejak jaman Pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati memimpin Kerajaan Islam Cirebon pada awal abad ke 15 M, Sedangkan jalan siliwangi dikenal sejak pemerintah kolonial masuk ke cirebon dan mendirikan gedung perkantoran di jalan siliwangi pada awal abad ke 19 M. Sehingga bisa dikatakan keberadaan koridor karangwangi menjadi orientasi dan sangat mempengaruhi perkembangan morfologi kota cirebon sampai saat ini.

Jacobs (1993) menyebutkan bahwa main street adalah jalan yang dapat menjadi representasi identitas kota, dimana karakteristik main street antara lain adalah mudah diingat (imageable) dan bisa menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk pejalan kaki, atau dengan kata lain memiliki sense of place. Sementara teori-teori mengenai sense of place menyatakan bahwa kesan suatu tempat dibentuk oleh tiga komponen utama, yaitu karakter fisik, aktivitas dan makna, meskipun ketiga komponen tersebut tidak selalu sama kuat intensitasnya sebagai pembentuk sense of place (Garnham, 1985; Relph, 1976; Carmona dkk, 2003). Oleh karena itu imageability, keunikan (distinctiveness), dan sense of place menjadi komponen yang penting dalam pembentukan identitas suatu main street.

B.     Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi elemen peninggalan budaya yang ada di kota Cirebon baik yang tangible maupun intangible, serta makna atau arti yang terkandung didalamnya dan memberikan wawasan bagi para pemangku kepentingan untuk dapat mengembangkan segala potensi yang ada agar dapat didaya gunakan dalam pembuatan kebijakan pengembangan wisata budaya perkotaan secara maksimal.  Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan wawancara etnografi, diskusi kelompok fokus dan wawancara langsung. Dalam metode kualitatif ini tidak menekankan kepada generalisasi (transferability), tetapi lebih menekankan pada makna.  Metode kualitatif ini menggunakan penelitian deskriptif, dimana penelitian ini hanya menggambarkan dan menganalisis sesuatu yang sebenarnya mengenai suatu variabel, dan tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, dan tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti.

 

C.    Pembahasan

1.      Nilai Sejarah Koridor Karangwangi Sebagai Pembentuk Imageability

Koridor  Karangwangi  yang merupakan gabungan dua buah ruas jalan, yaitu Jl.Karanggetas dan Jl.Siliwangi, memiliki sejarah yang cukup penting dalam pembentukan morfologi kota Cirebon. Dalam perkembangan morfologi kotanya, koridor karangwangi ini selalu menjadi orientasi bagi pertumbuhan kota. Pembangunan jalan yang dilakukan pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah ( 1479 M), menghubungkan keraton pakungwati di dukuh lemahwungkuk menuju dukuh pesambangan (astana gunung jati), sepanjang kurang lebih 5 kilometer agar dapat dilalui kuda dan pedati. Hal ini memang bisa dipahami karena pada kedua titik tujuan itulah semua orientasi aktifitas masyarakat pada saat itu terjadi bahkan hingga sampai saat ini. Dukuh Pesambangan sebagai tempat awal penyebaran agama islam di Cirebon dan Dukuh Lemahwungkuk sebagai pusat pemerintahan dan keraton. Koridor Karangwangi sangat berarti bagi pembentukan Kota Cirebon saat itu. Dari kedua pedukuhan itulah pergerakan hilir mudik orang cirebon pada saat itu terjadi, tidak saja urusan penyebaran agama islam atau urusan pemerintahan dengan keraton tetapi juga aktifitas perdagangan dan aktifitas sosial masyarakat lainnya. Koridor Karangwangi berkembang sebagai ruas jalan yang padat dan sibuk serta berpengaruh pada perkembangan morfologi Kota Cirebon selanjutnya. Koridor Karangwangi (Karanggetas-Siliwangi) memang cukup fenomenal untuk masyarakat Kota Cirebon, di sepanjang koridor jalan itu tersisa warisan bangunan (heritage) dari berbagai masa pemerintahan yang masih utuh sampai saat ini dan dapat dikembangkan sebagai destinasi wisata budaya baru bagi kota cirebon.

Melihat sejarah yang dimiliki pada Koridor Karangwangi, ini dapat mejadi potensi yang sangat menarik untuk pembentukan imageability koridor jalan dimaksud. Menurut Jacobs(1993),Beberapa kota memiliki jalan yang bermakna dan menimbulkan persepsi kuat bagi pengguna. Jalan tersebut dianggap memiliki kenangan (image) dan suasana yang lebih menarik atau lebih menyenangkan dari pada jalan- jalan yang lain, sehingga orang selalu mengingatnya dan ingin kembali ke jalan yang sama ketika berada di kota tersebut. Karakter sebuah jalan sebagai ruang kota akan mempengaruhi persepsi pengguna jalan terhadap image atau citra kota secara keseluruhan, yang pada akhirnya menjadi rujukan bagi identitas kota yang bersangkutan. Oleh karena itu perubahan karakter suatu koridor jalan pada suatu kota akan mempengaruhi pembentukan persepsi masyarakat terhadap identitas kota itu. Perubahan karakter suatu kota saat ini terjadi di berbagai kota di dunia sebagai akibat dari globalisasi dan tekanan pertumbuhan ekonomi, yang seringkali berdampak pada hilangnya karakter lokal dan menghasilkan wajah kota yang dimana-mana sama atau seragam.

Identitas kota berkembang sepanjang waktu, dipengaruhi oleh perubahan dan berbagai faktor pembentuknya, dan menjadi komponen yang berharga bagi keberlanjutan kota (Scheffler, 2009; Okesli, 2012). Oleh karena itu, menciptakan suatu tempat yang memiliki identitas sebagai pendukung keberlanjutan merupakan salah satu tujuan perancangan untuk menciptakan kota yang baik (Carmona, 2007). Pembentukan identitas kota melibatkan persepsi masyarakat terhadap lingkungan kota berdasarkan pengalaman sehari-hari (Relph, 1976; Rose, 1995), dimana dalam proses mengalami kota, karakter streetscape merupakan sumber informasi visual langsung dan terdekat bagi pembentukan image dan persepsi terhadap lingkungan kota serta identitas kota secara lebih luas.

2.      Keunikan (Distinctiveness) Karakter Koridor Karangwangi

Kevin Lynch (1981) menyatakan bahwa kemampuan untuk mengenali keunikan dipengaruhi oleh keterbacaan atau legibility lingkungan tersebut. Selain legibility, penilaian keunikan karakter koridor karangwangi  di Kota Cirebon juga di pengaruhi oleh aksesibilitas dan elemen-elemen yang membentuk karakter streetscape-nya. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa koridor-koridor jalan yang menurut penilaian masyarakat memiliki nilai keunikan paling tinggi, juga merupakan koridor dengan penilaian imageability, familiaritas, legibility, serta nilai kualitas dan kenyamanan yang paling tinggi. Koridor karangwangi yang merupakan gabungan dua ruas jalan, yaitu ; jalan karanggetas dan jalan siliwangi memiliki banyak elemen pembentuk keunikan. Jalan karanggetas yang pada awal abad 15 M merupakan kawasan yang sangat strategis sebagai pintu masuk ke karaton Cirebon, sehingga banyak pendatang seperti dari etnis tionghoa, etnis arab dan pribumi sendiri yang bermukim disana. Sehingga kemudian kawasan tersebut berkembang sebagai kawasan usaha yang menguntungkan. Sejak awal abad ke 20 M kawasan karanggetas berkembang sebagai kawasan strategis kota Cirebon. Jalan Karanggetas saat itu berkembang sebagai pusat pertokoan emas, tercatat pada awal abad ke-20 itu ada sebelas toko emas yang semuanya itu dimiliki oleh orang Tionghoa yang sampai saat ini masih bisa ditemukan. Sehingga jalan karanggetas sangat mudah dikenali (legibility) tidak saja oleh penduduk kota yang sudah sering melewati(familiaritas), tetapi juga oleh para pendatang. Pada kawasan sekitar jalan karanggetas, berkembang juga perkampungan etnis arab yang mengembangkan usaha penjualan buku-buku keagamaan, minyak wangi, dan usaha lainnya, sehingga kawasan karanggetas menjadi kawasan perekonomian utama bagi kota cirebon.

Sementara kawasan jalan siliwangi saat ini berkembang sebagai kawasan perkantoran utama di kota Cirebon dan juga aktifitas pendukung kota lainnya. Banyak bangunan-bangunan yang merupakan cagar budaya (heritage) yang bergaya kolonial, peninggalan pemerintah belanda sejak awal abad ke 19 M yang masih berdiri dengan kokoh dan menarik banyak pengunjung. Pemerintah Belanda membangun beberapa bangunan yang berfungsi perkantoran di sepanjang Jalan Siliwangi, seperti Gedung Karisedanan (Gedung Negara) dan kantor Balaikota (Staadhuis). Pembangunan Gedung Karesidenan Cirebon (Gedung Negara) dibangun pada tahun 1865 M ketika Karesidenan Cirebon dipimpin oleh Albert Wilhelm Kinder De Camurecq. Sementara Balaikota Cirebon dibangun pada tahun 1924 M, merupakan pengejawantahan peningkatan kepentingan Pemerintah Belanda terhadap kota pelabuhan cirebon saat itu, yang pada awal abad ke-20 telah menempati ranking ke-4 terbesar di Jawa. Pada masa Pemerintahan Militer Jepang hingga masa kemerdekaan gedung ini menjadi pusat Pemerintahan Kota Cirebon. Selain itu di jalan siliwangi juga banyak dijumpai bangunan-bangunan cagar budaya lain yang memiliki arsitektur yang sangat tinggi dan saat ini dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya (heritage). Seperti halnya jalan karanggetas, jalan siliwangi juga sangat familiar bagi warga kota cirebon, sehingga hampir seluruh jalur angkutan umum perkotaan yang ada akan melewati jalan siliwangi dan sangat mudah mngenali (legibility) karakternya melalui tampilan (fasade) bangunan-bangunan heritage tadi. Dengan ruas jalan yang cukup luas dan tampilan karakter bangunan disekitarnya, jalan siliwangi merupakan jalan yang memiliki kualitas dan kenyamanan yang sangat tinggi bagi warga kota cirebon. Sehingga hampir setiap perayaan apapun, seperti karnaval atau pawai yang memiliki skala kota atau nasional selalu dilakukan pada ruas jalan ini.

3.      Pembentukan sense of place koridor karangwangi

Sense of place didefiniskan sebagai ikatan antara tempat dengan manusia dimana tempat tersebut dapat memberikan rasa atau kesan tersendiri bagi mereka, baik rasa nyaman, aman, asing dan sebagainya. Sense of place dapat terjadi dimana saja, seperti ruang publik, rumah, taman, dan sebagainya. Sense of place dapat terjadi pada ruang publik karena pada ruang publik tidak terdapat batasan ruang sehingga manusia dapat secara bebas mengalami sense of place. Selain itu, manusia juga dapat berinteraksi satu sama lain sehingga memiliki sebuah memori dan pengalaman baru dan meninggalkan suatu kesan tersendiri bagi manusia ,yang menyebabkan terjadinya sense of place pada ruang publik tersebut. Jadi Sense of place adalah suatu proses persepsi lingkungan yang melibatkan pengenalan ciri-ciri suatu tempat dan pembedaan antara satu tempat dengan tempat lainnya yang menghasilkan image mengenai tempat tersebut. Oleh karena itu pembahasan mengenai pembentukan sense of place dilakukan berdasarkan analisis imageability dan keunikan (distinctiveness) karakter koridor karangwangi kota Cirebon. Dari analisis karakter ke dua ruas jalan pada koridor karangwangi, yaitu jalan karanggetas dan jalan siliwangi menunjukkan bahwa sense of place masing-masing ruas jalan dipengaruhi oleh tidak saja komponen karakter fisik tetapi juga dari pada karakter aktivitas dan makna setiap ruas jalan dengan intensitas yang berbeda.

Berdasarkan analisis elemen-elemen pembentuk imageability dan keunikan (distinctiveness) pada jalan karanggetas dan jalan siliwangi, terlihat bahwa elemen-elemen pembentuk sense of place pada koridor karangwangi adalah sebagai berikut:

Jalan Karanggetas,

Merupakan koridor dengan signifikansi sejarah yang cukup kuat sebagai pintu masuk kawasan keraton Cirebon pada awal abad ke 15 M, hingga saat ini berkembang sebagai kawasan strategis ekonomi bagi kota Cirebon, dimana masih terlihat pada karakter fisik yang cukup unik sebagai kawasan pertokoan emas yang menimbulkan imagebility bagi warga kota Cirebon. Banyak cerita rakyat (folklore) atau mitos yang menceritakan tentang jalan karanggetas, asal kata getas yang berarti mudah patah menceritakan bahwa karang yang sangat kuat saja bisa getas di tempat itu, maka orang yang sombong meski memiliki ilmu yang tinggi bisa getas di jalan itu. Mitos ini berawal dari cerita tentang Syekh Magelung Sakti, seorang kesatria muda yang berambut panjang, konon tengah mencari seorang ulama yang bisa memangkas rambutnya. Kesatria tersebut konon berasal dari Negeri Bagdad Timur Tengah. Kedatangan Syekh Magelung Sakti ke Cirebon lantaran mendengar di daerah ini terdapat orang sakti yang bisa membantu memotong rambutnya .  Di sana ia bertemu dengan seorang ulama yang belakangan diketahui bernama Sunan Gunung Jati dan ditempat itulah ia kemudian dipangkas rambutnya oleh sang Sunan dan sang kesatria itu pun bersedia jadi muridnya. Sejak saat itu daerah tersebut dinamai Karanggetas dan kali atau sungai yang melintas di jalan karanggetas dinamai Kali Sukalila, berasal dari kata suka dan Lillahitaala karena Syekhmagelung merasa suka dan sudah ikhlas rambutnya dipotong. Perpaduan antara karakter fisik, aktifitas para pengguna dan makna sejarah yang cukup kental membentuk sense of place yang cukup kuat pada jalan karanggetas.

Jalan Siliwangi

Merupakan koridor jalan yang memiliki makna sejarah yang sangat kuat bagi kota cirebon hingga saat ini. Saat pemerintah belanda membangun jaringan jalan raya darat Groote Postweg oleh Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels tahun 1808-1810, yang menghubungkan Anjer (Banten) hingga ke Penarukan (Jawa Timur), pemerintahan kolonial juga membangun jalur kereta api dengan dua stasiun kereta api, yakni Stasiun Kejaksaan dan Stasiun Prujakan di pusat kota cirebon. Kebijakan pembangunan pelabuhan Cirebon yang dibangun tahun 1865 M, dan pada tahun 1890 M diperluas dengan pembangunan kolam pelabuhan dan pergudangan, memicu peran kota menjadi kota transit dan berpengaruh pula bagi pertumbuhan industri dan perdagangannya. Selanjutnya Belanda juga membangun beberapa bangunan yang berfungsi perkantoran di sepanjang Jalan Siliwangi, seperti Gedung Karisedanan (Gedung Negara) dan kantor Balaikota (Staadhuis). Jalan siliwangi menjadi orientasi bagi perkembangan morfologi kota cirebon. Jalan siliwangi sangat imagebility dengan banyaknya bangunan cagar budaya (heritage) yang dapat dijumpai disepanjang jalan. Bangunan peninggalan kolonial yang memiliki ciri arsitektur ‘Art Deco” yang sangat indah menjadikan jalan siliwangi sebagai jalan yang memiliki karakter arsitektur kota yang sangat kuat dibanding ruas jalan lainnya. Fungsi kawasan jalan siliwangi yang pada umumnya perkantoran, menjadikan jalan siliwangi tampil sebagai jalan protokol kota yang berkelas. Jalan siliwangi juga tempat diselenggarakannya acara – acara atau perayaan – perayaan besar yang memiliki skala kota atau nasional. Agenda-agenda wisata dan kebudayaan yang secara periodik juga diselenggarakan di ruas jalan siliwangi. Makna sejarah yang sangat kuat, aktifitas kota yang sangat dinamis dan karakter fisik yang sangat spesifik adalah perpaduan yang kuat untuk sense of place jalan siliwangi.

D.    Penutup

Koridor karangwangi memiliki imageability yang sangat kuat karena berbagai elemen – elemen yang spesifik dan unik, sehingga mudah diingat bahkan sekalipun koridor itu tidak di lalui. Adanya folklore atau mitos pada koridor karangwangi menjadikan koridor karangwangi ini selalu berada dalam benak sebagian besar warga kota Cirebon khususnya. Koridor karangwangi merupakan koridor utama yang bisa menjadi perhatian utama dan bisa memberikan kesan pertama bagi pengguna jalan atau pendatang dari luar kota saat memasuki kota cirebon. Dengan demikian koridor ini semestinya menjadi ‘landmark’ yang memberikan informasi dan kesan yang baik tentang kota cirebon. Dengan kata lain koridor ini berpeluang untuk menjadi ‘Main Street’, simbol atau identitas bagi kota Cirebon.

Dengan potensi peninggalan budaya yang dimiliki dan beberapa upaya yang dilakukan, koridor karangwangi akan dapat dikembangkan juga sebagai kawasan yang menjadi ‘image’ bagi kota cirebon. Pada era globalisasi seperti saat ini, adanya main street sebagai identitas kota atau citra kota dapat berfungsi sebagai penambah daya tarik wisata bagi kota. Main street menjadi sesuatu yang penting untuk memperkuat identitas dan wajah kota sehingga membuat kota tersebut menarik dan memiliki daya tarik bagi wisatawan.

 

Daftar Pustaka

Antariksa, Basuki.(2018) : Kebijakan Pembangunan Sadar Wisata : Menuju Daya Saing Kepariwisataa Berkelanjutan. Intrans Publishing, Anggota IKAPI, Malang, Jawa Timur.

Atja (1986) : Carita Purwaka Caruban Nagari ; Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah. Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, Bandung, Indonesia.

Friedmann, John (1987) : Planning in The Public Domain ; From Knowledge to Action. Princeton University Press, Princeton – New Jersey.

Goeldner, Charles,R.,dan Ritchie, J.R.Brent.(2009) : TOURISM ; Principles, Practices, Philosophies. Published by John Wiley & Sons, Inc, Hoboken, New Jersey.

ICOMOS (2009) : World Heritage Cultural Landscape : Description of World Heritage Cultural Landscape with a Bibliography Based on Document Available at the UNESCO-ICOMOS Document Center, ICOMOS 2009.

Jacobs, Jane ; The Death and Life of Great American Cities, Random House, New York, Publication date 1961, Pages 458 (1989 edition), ISBN 0-679-74195-X.

Judisseno, Rimsky K.(2017) : Aktivitas dan Kompleksitas Kepariwisataan :  Suatu Tinjauan Tentang Kebijakan Pengembangan Kepariwisataan. PT.Gramedia Pustaka Utama, Anggota IKAPI, Jakarta.

Lynch, Kevin (1960) : The Image Of The City. The MIT Press, Cambridge-Massachusetts.

Lynch, K., (1981); Theory Of Good City Form, MIT Press, Cambridge.

Mazmanian, Daniel A., Sabatier Paul A.,(1945) : Implementation And Public Policy. Scott, Foresman and Company, Dallas.

Mansouri, A. (2009) ; Comparative Study of Complexity in Streetscape Composition. World Academy of Science, Engineering and Technology,2009.

Moughtin, Cliff, (2003) ; “Urban Design : Street And Square”, Architectural Press.

Oktay, Derya, (2002) ; The Quest For Urban Identity In The Changing Context Of The City Of Northern Cyprus, Jurnal Cities, Vol 19, No.4., Elsevier Science Ltd.

Prawiraredja, sugianto, mohammed. (2005) : CIREBON ; Falsafah, Tradisi dan Adat Budaya. Perum Percetakan Negara RI.

Relph, E. (1976) ; On The Identity Of Places. In Carmona, Urban Design Reader(pp. 102-107). Oxford: Architectural Press.

Scheffler, N. (2009) ; Identity And The City: Urban Identity an Asset for sustainable Development in Times ofg Globalization. URBACT Annual Conference.

Shirvani, Hamid (1985) : The Urban Design Process : Van Nostrand Reinhold, Universitas California .

Wibisono, B.H., (2001) ; Transformation Of Jalan Malioboro, Yogyakarta:The Morphology And Dynamics Of A Javanese Street. Doctor Of Philosophy Dissertation At Faculty Of Architecture, Building And Planning, The University Of Melbourne.