Rabu, 12 Agustus 2020

Lemahwungkuk, Tempat Peletakan Batu Pertama Kota Cirebon

 

Lemahwungkuk, Tempat Peletakan Batu Pertama Kota Cirebon

Oleh: Yoyon Indrayana

 

Cirebon pada awalnya adalah sebuah daerah yang bernama Tegal Alang-alang yang kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Pangeran Walangsungsang diubah namanya menjadi Caruban.

Nama Caruban sendiri terbentuk karena di wilayah Cirebon dihuni oleh beragam masyarakat. Sebutan lain Cirebon pada saat itu adalah Caruban Larang.

PADA perkembangannya Caruban berubah menjadi Cirebon karena kebiasaan masyarakatnya sebagai nelayan yang membuat terasi udang dan petis, masakan berbahan dasar air rebusan udang (cai rebon).

Menurut Kitab Purwaka Caruban Nagari, Cirebon dulunya bernama Dukuh Caruban. Dukuh Caruban adalah dukuh yang dibangun oleh putra mahkota Pajajaran, Pangeran Cakrabuwana/ Raden Walangsungsang yang dibantu oleh adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Indang Geulis. Pangeran Cakrabuwana membuka pedukuhan atas perintah gurunya, Syekh Nurul Jati/ Syekh Datuk Kahfi.

Pedukuhan yang dibuka oleh Pangeran Walangsungsang dikenal dengan nama Lemah Wungkuk. Pedukuhan ini sebenarnya telah dihuni oleh seorang nelayan bernama Ki Gedeng Alang-Alang/ Ki Danusela yang kemudian menjadi Kuwu Cerbon pertama.

Lama-kelamaan dukuh ini berkembang dan ramai dikunjungi para pedagang dan berubah nama menjadi Caruban. Pangeran Walangsungsang yang sepulang beribadah haji berganti nama menjadi Ki Somadullah kemudian menggantikan Kuwu Cerbon pertama Ki Gedeng Alang-Alang sebagai Kuwu Cerbon kedua dan kelak  membangun Keraton Pakungwati dengan gelar Sri Mangana atau Prabu Anom.

Cirebon yang dulunya dikenal juga dengan nama Caruban Nagari, menampakkan diri sebagai pelabuhan yang mulai dikenal orang, ketika pengaruh Islam secara perlahan memasuki daerah-daerah pantai utara Jawa. Sebuah manuskrip berbahasa Tiongkok “Shun-Feng Hsiang-Sung” yang menjelaskan adanya intruksi jalur pelayaran dari Shun-t’a (Sunda Pajajaran) ke arah timur Pantai Utara menuju Che-Li-Wen (Cirebon).

Keberadaan Cirebon sebagai pelabuhan diberitakan dalam sumber Portugis, diperkuat oleh laporan-laporan yang dibuat oleh Tome Pires dalam kunjungannya ke Cirebon pada tahun 1513 M, Tome Pires menyebut Cirebon dengan “Chorobon”. Menurut catatan, Pires menggambarkan Kota Cirebon sebagai kota yang mempunyai pelabuhan yang bagus yang pada waktu ia datang menyaksikan 3-4 jung (perahu besar buatan negeri Tiongkok) dan kurang lebih 10 lancara.

Ia menggambarkan juga bahwa kota Cirebon dapat dicapai dengan menggunakan jung dan terdapat pasar yang jauhnya 1 km dari istana. Di kota itu tinggal 7 pedagang besar di antaranya adalah Pate Qodir seorang bangsawan pedagang yang pernah menjadi kepala perkampungan Jawa di Malaka yang kemudian diusir oleh tentara Portugis karena berkomplot dengan tentara Demak yang menyerbu Malaka. Berita lainnya tentang Cirebon berasal dari Belanda yang pada awal abad 16 M disebut dengan “Charabaon”. Sedangkan dari sumber yang lebih muda menyebutnya dengan ‘Cheribon” atau “Tjerbon”.

Berbeda dengan sumber berita luar negeri tentang Cirebon. Menurut naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang disusun oleh Pangeran Arya Carbon pada 1720 M, istilah Cirebon senantiasa berubah-ubah. Kata ini pada awalnya berasal dari kata “Caruban”, kemudian “Carbon” dan akhirnya menjadi Cirebon. Alasan kenapa disebut dengan Cirebon atau Caruban itu karena tempat ini dijadikan sebagai tempat percampuran berbagai bangsa, agama, bahasa dan lain sebagainya. Karenanya, tempat ini disebut dengan Caruban yang berarti campuran.

Bagi kalangan para wali, Cirebon disebut juga sebagai ‘puser jagat’  karena terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat Cirebon sendiri menyebutnya sebagai “Nagari Gede” yang lambat laun disebut juga dengan ‘Garage” dan berubah menjadi “Grage”.

Menurut sumber lainnya yang berasal dari observasi lapangan, beberapa orang menjelaskan bahwa kata “Grage” berasal dari kata “Glagi” atau nama udang kering untuk bahan membuat terasi. Jika dihubungkan dengan kenyataan, bahwa Cirebon dari dahulu hingga sekarang ini merupakan daerah penghasil udang dan terasi.

 

KI GEDENG ALANG-ALANG/KI DANUSELA

Ki Gede Alang-Alang adalah julukan bagi tokoh pendiri Cirebon yang bernama Bramacari Siramarna.  Dijuluki Ki Gede Alang-Alang karena yang bersangkutan sukses membuat daerah yang sebelumnya berupa alang-alang atau rerumputan tak terurus menjadi desa/ pedukuhan yang ramai. Menurut Naskah Carita Pustaka Caruban Nagari, Ki Gede Alang-Alang adalah nama lain dari Ki Danusela adik dari Ki Danuarsih, penguasa Cirebon Girang.

Diceritakan perihal Ki Danusela yang bergelar Ki Gedeng Alang-alang, Ia telah lama tinggal di Tegal Alang-Alang atau Kebon Pesisir yang kemudian disebut Lemahwungkuk bersama istrinya Nyai Arumsari. Setiap hari, kerjanya mencari rebon (udang kecil) untuk membuat terasi, petis, dan garam. Dari perkawinannya dengan Nyai Arumsari, Ki Danusela mempunyai seorang anak bernama Nyai Retna Riris, kelak bernama Nyai Kencana Larang. Selanjutnya, Ki Somadullah memperistri Nyai Kencana Larang.

Pada mulanya Ki Gede Alang-Alang penyembah berhala, tapi selepas berkenalan dengan Walangsungsang ia menjadi tertarik pada agama Islam. Kala itu Pangerang Walangsungsang menggunakan nama Abdullah Iman, ia menyembunyikan jati dirinya sebagai anak Raja Pajajaran, pendek kata Abdullah Iman lebih memilih menjadi manusia biasa, ia berprofesi sebagai nelayan pencari rebon dan pembuat trasi.

Setelah beberapa lama berkenalan dengan Abdullah Iman, serta mengetahui ketinggian ahlak dan budi pekertinya, Ki Gede Alang-Alang makin mantap dengan pemuda itu, sehingga Ki Gedeng Alang-Alang mengawinkannya dengan anaknya.

Pada tahap selanjutnya, ketika Ki Gede Alang-Alang sudah tidak sanggup lagi menjabat Kuwu Cirebon, ia mengangkat Walangsungsang sebagai Kuwu Cirebon pengganti dirinya. Tapi sebelum itu Walangsungsang mula-mula diberi jabatan Pangraksabumi/ Raksabumi, sebab itulah nama lain dari Pangeran Walangsungsang adalah Cakrabuwana. Maksudnya orang yang mengemban jabatan Raksabumi/ Pangraksabumi.

Dari anak perempuannya, Ki Gede Alang-Alang kelak memiliki tiga orang cucu, yaitu Nyi Dalem Pakungwati, Pangeran Kejaksan dan Pangeran Pajarakan. Tidak ada kejelasan mengenai kapan tokoh Ki Gede Alang-Alang dilahirkan dan meninggal, akan tetapi dalam kepercayaan masyarakat Cirebon, Ki Gede Alang-Alang menghabiskan masa tuanya di wilayah selatan Cirebon yang sejuk.

Masyarakat juga percaya bawa Ki Gede Alang-Alang wafat dan dikuburkan di Desa Tukmudal, Sumber Cirebon. Situs dan makam dari Ki Gede Alang-Alang hingga kini dapat dijumpai di Desa Tukmudal dan kadang ada beberapa orang yang mengunjunginya untuk berziarah.

 

PANGERAN WALANGSUNGSANG (1428 M)

Setelah mendapatkan pengajaran agama yang cukup dari gurunya Syekh Nurjati, pangeran Walangsungsang dan nyimas Lara Santang kemudian diperintahkan menunaikan ibadah haji ke Mekah, disana nyimas Lara Santang menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan menikah sehingga nyimas tidak ikut kembali ke Cirebon.

Di Mekah, Nyai Lara Santang diperistri oleh Maolana Sultan Mahmud yang juga disebut Syarif Abdullah, putra Ali Nurul Alim dari bangsa Hasyim yang berasal dari Bani Ismail yang dulu berkuasa di kota Ismailiyah. Juga, membawahi Bani israil (Bani Israil) di wilayah Pilistin (Palestina). Setelah menjadi istri Maolana Sultan Mahmud, ia diberi nama Saripah Mudaim, dan kakaknya bergelar Haji Abdullah Iman.

Sepulangnya dari melaksanakan haji, pangeran Walangsungsang diminta oleh gurunya untuk membuka lahan guna membuat perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia cita-citakan, setelah memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan perkampungan baru tersebut akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir atau Lemahwungkuk atau Tegal Alang-Alang.

Dukuh Tegal Alang-Alang bertambah ramai, dan banyak warga masyarakat Dukuh Pesambangan yang berpindah ke daerah itu untuk berdagang dan menangkap ikan, tidak ada yang bertani. Setelah tiga tahun Ki Cakrabumi tinggal di daerah itu, nama pedukuhan berubah menjadi Desa Caruban Larang, karena desa tersebut tinggal berbagai bangsa dengan agama, bahasa, tabiat, dan juga pekerjaan yang berbeda.

Menurut sejarah lisan dan sebagian babad mengenai masalah ini, dikatakan bahwa Pengeran Walangsungsang diperintahkan oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati) untuk membuka lahan di wilayah Kebon Pesisir, namun dikatakan bahwa di Kebon Pesisir tidak sepenuhnya kosong karena sudah ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan istrinya yang tinggal di sana.

Akhirnya sebagai bentuk penghormatan maka Kuwu (Kepala Desa) Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Danusela dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang, dan sebagai Pangraksa bumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subang larang atau Subang kranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa.

Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuwana.

Pada masa pemerintahan Ki Danusela sebagai kuwu Kebon Pesisir, dibangun juga tajug (bahasa Indonesia: Mushola) pertama di wilayah tersebut atas prakarsa dari menantunya yaitu pangeran Walangsungsang, tajug tersebut bernama tajug Jalagrahan, yang berfungsi sebagai tempat penyebaran agama Islam, dari sinilah awal mula Islam menyebar ke wilayah Cirebon dan sekitarnya, Pangeran Walangsungsang kemudian juga membangun sebuah tempat tinggal yang disebut Gedong Witana pada tahun 1428 Masehi yang sekarang menjadi bagian dari kompleks keraton kanoman, kesultanan kanoman.

Pangeran Cakrabuwana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertamanya bernama Subang larang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang dan Raden Kian Santang.

Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subang larang – ibunya), sementara saat itu (abad 15) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha.

Pangeran Walangsungsang pada usia remaja keluar dari istana karena mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad dan diperintahkan untuk mencari atau mempelajari agama Islam yang bisa menyelamatkan kehidupan manusia di dunia dan akhirat, Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.

Pangeran Walangsungsang setelah membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, kemudian juga membangun Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi), mendirikan Dalem Agung Pakungwati serta membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M.

Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai “Raja” Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

Dari beberapa uraian di atas maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pembukaan dukuh Lemahwungkuk oleh Pangeran Walangsungsang pada saat itu bisa dianggap sebagai tempat peletakan batu pertama pembangunan kota cirebon, karena dari dukuh lemahwungkuk lah kemudian pembangunan kota cirebon berkembang dan berlanjut hingga saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar