Lemahwungkuk, Tempat
Peletakan Batu Pertama Kota Cirebon
Oleh: Yoyon Indrayana
Cirebon pada awalnya adalah
sebuah daerah yang bernama Tegal Alang-alang yang kemudian disebut Lemah
Wungkuk dan setelah dibangun oleh Pangeran Walangsungsang diubah namanya menjadi
Caruban.
Nama Caruban sendiri terbentuk
karena di wilayah Cirebon dihuni oleh beragam masyarakat. Sebutan lain Cirebon
pada saat itu adalah Caruban Larang.
PADA perkembangannya Caruban
berubah menjadi Cirebon karena kebiasaan masyarakatnya sebagai nelayan yang
membuat terasi udang dan petis, masakan berbahan dasar air rebusan udang (cai
rebon).
Menurut Kitab Purwaka Caruban
Nagari, Cirebon dulunya bernama Dukuh Caruban. Dukuh Caruban adalah dukuh yang
dibangun oleh putra mahkota Pajajaran, Pangeran Cakrabuwana/ Raden
Walangsungsang yang dibantu oleh adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai
Indang Geulis. Pangeran Cakrabuwana membuka pedukuhan atas perintah gurunya,
Syekh Nurul Jati/ Syekh Datuk Kahfi.
Pedukuhan yang dibuka oleh
Pangeran Walangsungsang dikenal dengan nama Lemah Wungkuk. Pedukuhan ini
sebenarnya telah dihuni oleh seorang nelayan bernama Ki Gedeng Alang-Alang/ Ki
Danusela yang kemudian menjadi Kuwu Cerbon pertama.
Lama-kelamaan dukuh ini
berkembang dan ramai dikunjungi para pedagang dan berubah nama menjadi Caruban.
Pangeran Walangsungsang yang sepulang beribadah haji berganti nama menjadi Ki
Somadullah kemudian menggantikan Kuwu Cerbon pertama Ki Gedeng Alang-Alang
sebagai Kuwu Cerbon kedua dan kelak
membangun Keraton Pakungwati dengan gelar Sri Mangana atau Prabu Anom.
Cirebon yang dulunya dikenal juga
dengan nama Caruban Nagari, menampakkan diri sebagai pelabuhan yang mulai
dikenal orang, ketika pengaruh Islam secara perlahan memasuki daerah-daerah
pantai utara Jawa. Sebuah manuskrip berbahasa Tiongkok “Shun-Feng Hsiang-Sung”
yang menjelaskan adanya intruksi jalur pelayaran dari Shun-t’a (Sunda
Pajajaran) ke arah timur Pantai Utara menuju Che-Li-Wen (Cirebon).
Keberadaan Cirebon sebagai
pelabuhan diberitakan dalam sumber Portugis, diperkuat oleh laporan-laporan
yang dibuat oleh Tome Pires dalam kunjungannya ke Cirebon pada tahun 1513 M,
Tome Pires menyebut Cirebon dengan “Chorobon”. Menurut catatan, Pires
menggambarkan Kota Cirebon sebagai kota yang mempunyai pelabuhan yang bagus yang
pada waktu ia datang menyaksikan 3-4 jung (perahu besar buatan negeri Tiongkok)
dan kurang lebih 10 lancara.
Ia menggambarkan juga bahwa kota
Cirebon dapat dicapai dengan menggunakan jung dan terdapat pasar yang jauhnya 1
km dari istana. Di kota itu tinggal 7 pedagang besar di antaranya adalah Pate
Qodir seorang bangsawan pedagang yang pernah menjadi kepala perkampungan Jawa
di Malaka yang kemudian diusir oleh tentara Portugis karena berkomplot dengan
tentara Demak yang menyerbu Malaka. Berita lainnya tentang Cirebon berasal dari
Belanda yang pada awal abad 16 M disebut dengan “Charabaon”. Sedangkan dari
sumber yang lebih muda menyebutnya dengan ‘Cheribon” atau “Tjerbon”.
Berbeda dengan sumber berita luar
negeri tentang Cirebon. Menurut naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang
disusun oleh Pangeran Arya Carbon pada 1720 M, istilah Cirebon senantiasa
berubah-ubah. Kata ini pada awalnya berasal dari kata “Caruban”, kemudian
“Carbon” dan akhirnya menjadi Cirebon. Alasan kenapa disebut dengan Cirebon
atau Caruban itu karena tempat ini dijadikan sebagai tempat percampuran
berbagai bangsa, agama, bahasa dan lain sebagainya. Karenanya, tempat ini
disebut dengan Caruban yang berarti campuran.
Bagi kalangan para wali, Cirebon
disebut juga sebagai ‘puser jagat’ karena
terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat Cirebon sendiri menyebutnya
sebagai “Nagari Gede” yang lambat laun disebut juga dengan ‘Garage” dan berubah
menjadi “Grage”.
Menurut sumber lainnya yang
berasal dari observasi lapangan, beberapa orang menjelaskan bahwa kata “Grage”
berasal dari kata “Glagi” atau nama udang kering untuk bahan membuat terasi.
Jika dihubungkan dengan kenyataan, bahwa Cirebon dari dahulu hingga sekarang
ini merupakan daerah penghasil udang dan terasi.
KI GEDENG ALANG-ALANG/KI DANUSELA
Ki Gede Alang-Alang adalah
julukan bagi tokoh pendiri Cirebon yang bernama Bramacari Siramarna. Dijuluki Ki Gede Alang-Alang karena yang
bersangkutan sukses membuat daerah yang sebelumnya berupa alang-alang atau rerumputan
tak terurus menjadi desa/ pedukuhan yang ramai. Menurut Naskah Carita Pustaka
Caruban Nagari, Ki Gede Alang-Alang adalah nama lain dari Ki Danusela adik dari
Ki Danuarsih, penguasa Cirebon Girang.
Diceritakan perihal Ki Danusela
yang bergelar Ki Gedeng Alang-alang, Ia telah lama tinggal di Tegal Alang-Alang
atau Kebon Pesisir yang kemudian disebut Lemahwungkuk bersama istrinya Nyai
Arumsari. Setiap hari, kerjanya mencari rebon (udang kecil) untuk membuat
terasi, petis, dan garam. Dari perkawinannya dengan Nyai Arumsari, Ki Danusela
mempunyai seorang anak bernama Nyai Retna Riris, kelak bernama Nyai Kencana
Larang. Selanjutnya, Ki Somadullah memperistri Nyai Kencana Larang.
Pada mulanya Ki Gede Alang-Alang
penyembah berhala, tapi selepas berkenalan dengan Walangsungsang ia menjadi tertarik
pada agama Islam. Kala itu Pangerang Walangsungsang menggunakan nama Abdullah
Iman, ia menyembunyikan jati dirinya sebagai anak Raja Pajajaran, pendek kata
Abdullah Iman lebih memilih menjadi manusia biasa, ia berprofesi sebagai
nelayan pencari rebon dan pembuat trasi.
Setelah beberapa lama berkenalan
dengan Abdullah Iman, serta mengetahui ketinggian ahlak dan budi pekertinya, Ki
Gede Alang-Alang makin mantap dengan pemuda itu, sehingga Ki Gedeng Alang-Alang
mengawinkannya dengan anaknya.
Pada tahap selanjutnya, ketika Ki
Gede Alang-Alang sudah tidak sanggup lagi menjabat Kuwu Cirebon, ia mengangkat
Walangsungsang sebagai Kuwu Cirebon pengganti dirinya. Tapi sebelum itu
Walangsungsang mula-mula diberi jabatan Pangraksabumi/ Raksabumi, sebab itulah
nama lain dari Pangeran Walangsungsang adalah Cakrabuwana. Maksudnya orang yang
mengemban jabatan Raksabumi/ Pangraksabumi.
Dari anak perempuannya, Ki Gede
Alang-Alang kelak memiliki tiga orang cucu, yaitu Nyi Dalem Pakungwati,
Pangeran Kejaksan dan Pangeran Pajarakan. Tidak ada kejelasan mengenai kapan
tokoh Ki Gede Alang-Alang dilahirkan dan meninggal, akan tetapi dalam
kepercayaan masyarakat Cirebon, Ki Gede Alang-Alang menghabiskan masa tuanya di
wilayah selatan Cirebon yang sejuk.
Masyarakat juga percaya bawa Ki
Gede Alang-Alang wafat dan dikuburkan di Desa Tukmudal, Sumber Cirebon. Situs
dan makam dari Ki Gede Alang-Alang hingga kini dapat dijumpai di Desa Tukmudal
dan kadang ada beberapa orang yang mengunjunginya untuk berziarah.
PANGERAN WALANGSUNGSANG (1428 M)
Setelah mendapatkan pengajaran
agama yang cukup dari gurunya Syekh Nurjati, pangeran Walangsungsang dan nyimas
Lara Santang kemudian diperintahkan menunaikan ibadah haji ke Mekah, disana
nyimas Lara Santang menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan menikah
sehingga nyimas tidak ikut kembali ke Cirebon.
Di Mekah, Nyai Lara Santang
diperistri oleh Maolana Sultan Mahmud yang juga disebut Syarif Abdullah, putra
Ali Nurul Alim dari bangsa Hasyim yang berasal dari Bani Ismail yang dulu
berkuasa di kota Ismailiyah. Juga, membawahi Bani israil (Bani Israil) di wilayah
Pilistin (Palestina). Setelah menjadi istri Maolana Sultan Mahmud, ia diberi
nama Saripah Mudaim, dan kakaknya bergelar Haji Abdullah Iman.
Sepulangnya dari melaksanakan
haji, pangeran Walangsungsang diminta oleh gurunya untuk membuka lahan guna membuat
perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia cita-citakan, setelah
memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan perkampungan baru tersebut
akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir atau Lemahwungkuk atau Tegal
Alang-Alang.
Dukuh Tegal Alang-Alang bertambah
ramai, dan banyak warga masyarakat Dukuh Pesambangan yang berpindah ke daerah
itu untuk berdagang dan menangkap ikan, tidak ada yang bertani. Setelah tiga
tahun Ki Cakrabumi tinggal di daerah itu, nama pedukuhan berubah menjadi Desa
Caruban Larang, karena desa tersebut tinggal berbagai bangsa dengan agama,
bahasa, tabiat, dan juga pekerjaan yang berbeda.
Menurut sejarah lisan dan
sebagian babad mengenai masalah ini, dikatakan bahwa Pengeran Walangsungsang
diperintahkan oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati) untuk membuka lahan di
wilayah Kebon Pesisir, namun dikatakan bahwa di Kebon Pesisir tidak sepenuhnya
kosong karena sudah ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan istrinya
yang tinggal di sana.
Akhirnya sebagai bentuk
penghormatan maka Kuwu (Kepala Desa) Caruban yang pertama yang diangkat oleh
masyarakat baru itu adalah Ki Danusela dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang, dan
sebagai Pangraksa bumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu
putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subang larang atau Subang kranjang, yang tak
lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang
wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi
penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuwana.
Pada masa pemerintahan Ki
Danusela sebagai kuwu Kebon Pesisir, dibangun juga tajug (bahasa Indonesia:
Mushola) pertama di wilayah tersebut atas prakarsa dari menantunya yaitu
pangeran Walangsungsang, tajug tersebut bernama tajug Jalagrahan, yang berfungsi
sebagai tempat penyebaran agama Islam, dari sinilah awal mula Islam menyebar ke
wilayah Cirebon dan sekitarnya, Pangeran Walangsungsang kemudian juga membangun
sebuah tempat tinggal yang disebut Gedong Witana pada tahun 1428 Masehi yang
sekarang menjadi bagian dari kompleks keraton kanoman, kesultanan kanoman.
Pangeran Cakrabuwana adalah
keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari
istrinya yang pertamanya bernama Subang larang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden
Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang
dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak sulung dan laki-laki
ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini
disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subang larang –
ibunya), sementara saat itu (abad 15) ajaran agama mayoritas di Pajajaran
adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha.
Pangeran Walangsungsang pada usia
remaja keluar dari istana karena mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad dan
diperintahkan untuk mencari atau mempelajari agama Islam yang bisa
menyelamatkan kehidupan manusia di dunia dan akhirat, Posisinya digantikan oleh
adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang
kedua Nyai Cantring Manikmayang.
Pangeran Walangsungsang setelah
membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, kemudian juga membangun Kuta Kosod
(susunan tembok bata merah tanpa spasi), mendirikan Dalem Agung Pakungwati
serta membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M.
Dengan demikian, yang dianggap
sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian
disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai “Raja” Cirebon pertama yang memerintah
dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk
Cirebon.
Dari beberapa uraian di atas maka
bisa ditarik kesimpulan bahwa pembukaan dukuh Lemahwungkuk oleh Pangeran
Walangsungsang pada saat itu bisa dianggap sebagai tempat peletakan batu
pertama pembangunan kota cirebon, karena dari dukuh lemahwungkuk lah kemudian
pembangunan kota cirebon berkembang dan berlanjut hingga saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar