Oleh : Abu Raihan
Sujud syukur saya panjatkan di
Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah,
begitu turun dari Pesawat Saudi Arabian Airlines yang membawa saya dan
rombongan jemaah haji lain dari Indonesia . Tidak terasa penerbangan selama
sekitar 11 jam tidak saya rasakan, karena kegembiraan yang begitu besar dalam
hati saya kalau pada akhirnya saya bisa memenuhi panggilan-Nya, “ Aku
datang memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku datang
memenuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji, nikmat, dan segenap kekuasaan
adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu ”.
Bagi umat muslim, perjalanan
ibadah haji tidak sekedar perjalanan ibadah fisik, akan tetapi juga merupakan
perjalanan spiritual yang dapat memberikan pencerahan keagamaan bagi umat
muslim yang menjalaninya. Ibadah haji diwajibkan oleh Allah SWT atas setiap
umat islam yang mampu, berdasarkan firman Allah SWT : “ mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi
orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah “ (QS. Ali Imran 3 ayat
97). Selain itu juga dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim dan Abu Hurairah RA disebutkan ; “
Hai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kamu sekalian melaksanakan
ibadah haji “. Ibadah haji juga
merupakan salah satu konferensi umat islam dari berbagai penjuru dunia, yang
bisa jadi merupakan konferensi terbesar di muka bumi ini yang dihadiri oleh
umat manusia dari berbagai negara, dimana didalam pertemuan itu bukan untuk
membicarakan masalah-masalah politik atau kenegaraan tetapi justru murni hanya
untuk beribadah, bertahmid dan bertasbih. Oleh karena itu, peribadatan yang
dilakukan secara kolosal ini dengan jumlah jamaah mencapai jutaan selalu
menyisakan banyak cerita suka, duka dan berbagai pengalaman menarik lainnya
yang sangat berharga.
KOTA YANG BERTABUR CAHAYA
Kota Madinah sering disebut ‘Al-Madinah al-Munawwarah’ (kota yang
bertabur cahaya) adalah salah satu Kota Suci bagi umat muslim di Arab Saudi selain
Makkah, disamping menjadi pusat dakwah dan basis pengembangan ajaran islam,
Madinah juga menjadi Ibu Kota Negara Islam pertama dalam sejarah. Dari Madinah
Islam menyebar ke seluruh Semenanjung Arabia dan seluruh penjuru dunia. Hal
menarik lainnya tentang Kota Madinah adalah semua yang ada, mulai dari makanan,
minuman, serta segala yang tumbuh di Kota Madinah memiliki nilai keberkahan dua
kali lipat daripada yang ada di Kota Makkah. Rasulullah SAW, bersabda , “ Ya Allah, berilah Madinah ini dua kali berkah
dari yang Kau berikan kepada Makkah “.
Di Kota Madinah ini juga terdapat
Masjid Nabaw,i adalah Masjid yang dibangun Nabi Muhammad SAW dan menjadi tempat
makam beliau beserta 2(dua) sahabatnya (Sayidina Abu Bakar as-Siddiq dan
Sayidina Umar bin Khattab). Berjiarah ke Masjid Nabawi adalah Masyru’
(diperintahkan) dan termasuk ibadah, sesuai dengan sabda Nabi SAW : “ Janganlah kau mementingkan bepergian
kecuali kepada ketiga masjid ,yaitu ; Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid
Nabawi), dan Masjidil Aqsa ” (HR.ad-Darimi, an-Nasa’i, Ahmad).
Selama di Madinah kegiatan ibadah
yang kami lakukan masih bersifat sunnah, diantaranya yang dirasa sangat istimewa adalah Shalat Arbain, yaitu shalat
fardu berjamaah yang dilakukan selama 8 (delapan) hari atau 40 (empat puluh)
waktu shalat tanpa terputus di Masjid Nabawi. Dalam sebuah hadis Rasulullah
SAW, bersabda ,” Barang siapa shalat di
Masjidku sebanyak 40 kali tanpa terputus, maka ia selamat dari neraka dengan
segala siksa serta selamat dari sifat munafik “. (HR.Ahmad). Pada awalnya
membayangkan semua itu terasa berat, Tapi setelah dijalani segalanya terasa
nikmat, bahkan menimbulkan kerinduan yang sangat dalam, bacaan shalat yang
dilantunkan Imam meskipun panjang-panjang tetapi karena bacaan yang jelas dan
suaranya yang merdu membuat saya asyik menyimak dan mendengarkan sehingga tanpa
terasa setiap waktu shalat terlewati dengan kesan yang sangat mendalam.
Didalam Masjid Nabawi ada sebuah
tempat yang menjadi rebutan para jamaah untuk dapat shalat dan berdoa didalamnya,
yaitu yang disebut ‘Raudah’ yang berarti ‘taman’ , dahulu tempat ini terletak
antara rumah Nabi Muhammad SAW (sekarang makam Nabi SAW) dan mimbar masjid.
Disitulah dulu Nabi SAW biasa membacakan wahyu dan mengajarkan islam. Raudah
digambarkan sebagai tempat di bumi yang akan ada di surga, sebagaimana sabda
Nabi SAW : “ Antara rumahku dan mimbarku
adalah taman diantara taman-taman surga “.
Sebenarnya banyak pengalaman
menarik yang saya alami selama melaksanakan ibadah shalat di Masjid Nabawi,
tetapi ada dua pengalaman yang sangat menggugah rasa keimanan saya saat
bersama-sama jamaah yang lain berebutan untuk dapat masuk ke Raudah untuk
Shalat dan berdoa. Pertama, saat dalam desakan dan himpitan dari jamaah selain
dari Indonesia, seperti Afrika, Turki, India, dan lain-lainnya yang rata-rata
tinggi dan besar, badan saya yang menurut ukuran orang indonesia tinggi dan
besar ini jadi terasa kecil dan tidak bertenaga untuk ikut berdesakan, Saya
hanya bisa pasrah dan berdoa agar selamat dari desakan gelombang orang yang
begitu banyak. Dalam ke pasrahan dan keikhlasan yang total terhadap Sang
Pencipta tiba-tiba ada sebuah tangan dari seseorang yang tinggi dan besar
menarik saya ke dalam Raudah dan memberikan tempatnya untuk saya Shalat dan
berdoa, kemudian orang tinggi besar tadi berdiri dibelakang saya seakan menjaga
saya dari desakan orang yang masih
berebut mencari tempat untuk dapat masuk kedalam Raudah. Betapa terkejutnya
saya ketika selesai Shalat dan berdoa orang tinggi besar tadi sudah tidak ada,
mata saya berkeliling mencarinya tetap tidak saya temui, sehingga saya pun
tidak sempat mengucapkan terima kasih, semoga tadi Malaikat yang telah membantu
saya. Yang kedua, adalah saat seperti biasa hendak memasuki Raudah, saya ikut
dalam arus gelombang manusia yang berdesakan memasuki Raudah, belajar dari
pengalaman sebelumnya saya berusaha santai mengikuti pergerakan jamaah haji
lainnya, tidak ikut dalam dorong mendorong bersama para jamaah tetapi mengikuti
saja kemana tubuh ini terdorong. Dalam hati saya yakin, kalau pergerakan para
jamaah ini mengarah ke dalam Raudah, saya juga akan terbawa masuk kedalamnya,
lalu buat apa saya harus ikut dorong-mendorong, hanya akan menyakiti orang lain
saja. Hingga pada suatu saat sudah mendekati Raudah, disana banyak ‘Askar’ (pihak
keamanan /polisi yang berjaga didalam Masjid) yang berusaha keras mengatur para
jamaah, karena pengunjung terlalu padat sebagian jamaah tidak diperbolehkan
memasuki Raudah, saya hanya bisa pasrah dan berdoa dalam hati,” Ya Allah kalau Kau menghendaki aku sujud
dan berdoa di dalam Raudah, mudahkanlah jalanku ”, ternyata Allah mendengar
doa saya saat itu, tanpa saya duga sebelumnya seorang Askar menarik tangan saya
dan memasukan saya ke dalam Raudah dan menyuruh saya segera shalat dan berdoa,
Alhamdulillah. Dan yang membuat hati saya tergetar lagi adalah saat keluar dari
Masjid Nabawi, setelah memberi salam ke Makam Rasulullah SAW, tanpa sengaja
saya berpapasan dengan Imam Besar Masjid Nabawi yang juga hendak keluar dari
pintu belakang Masjid Nabawi, orang-orang yang berada disekitar itu berebutan
menyalami, tanpa pikir panjang saya pun ikut menyalami dan mencium tangan Sang
Imam tadi. Seketika hati saya bergemuruh dan air mata tanpa terasa berlinang
karena bercampur aduknya perasaan yang saya rasakan saat itu, antara gembira
dan terharu karena dapat bertemu dengan orang-orang pilihan di Tanah Suci
ini.
Selama di Madinah kami dan jamaah
haji yang lain mendapat akomodasi yang cukup baik, dari penginapan sampai makan
semuanya telah disiapkan, meskipun kalau masalah rasa makanan di tanah air
jelas jauh lebih enak tapi kami tetap memaksakan diri untuk menikmatinya karena
kita memang butuh energi untuk fisik kita agar pelaksanaan ibadah haji yang
memakan waktu hampir 40 hari ini tidak terganggu. Sesekali kalau ingin makan
enak dan kangen dengan masakan kampung sendiri, saya dan istri pergi ke rumah
makan Indonesia yang banyak di jumpai di sekitar Masjid Nabawi. Dari jenis-jenis kuliner yang ada di Tanah
Suci ini yang paling berkesan bagi saya adalah ‘Teh Susu’ , secangkir teh celup
dicampur dengan susu yang rasanya menurut saya sangat nikmat berbeda dengan teh
susu yang ada di tanah air.
KOTA SUCI YANG EKSKLUSIF
Makkah adalah Kota Suci bagi umat
muslim selain Madinah, Makkah memiliki sifat yang eksklusif, karena hanya umat
islam saja yang boleh memasuki kota ini. eksklusifitas ini memang sering
dipertanyakan oleh pemeluk agama lain, tetapi akhirnya semuanya dapat memahami
bahwa ini bagian dari doktrin agama yang diyakini umat islam, sementara agama
lain tidak memiliki eksklusifisme teologis sebuah kota suci. Makkah dinyatakan
sebagai kota yang khusus untuk umat islam dimulai sejak periode Muhammad SAW,
utamanya pasca-deklarasi Makkah sebagai kiblat umat islam.
Melaksanakan ibadah shalat di
Masjidil Haram sambil memandangi Ka’bah secara langsung sungguh merupakan
pengalaman yang luar biasa bagi saya, rugi besar rasanya kalau shalat di
Masjidil Haram tidak dapat memandang Ka’bah. Selama ini hal itu hanya saya
rasakan dalam bayangan atau melihat digambar saja, Ka’bah hanyalah sebuah
bangunan yang berbentuk segi empat dari batu
dan berfungsi sebagai kiblatnya umat islam. Ternyata saya salah besar,
Ka’bah (Baitullah) yang saat ini ada dihadapan saya jauh lebih indah dari
bayangan saya, Ka’bah adalah karya arsitektur pertama yang ada di bumi. Nama
lain Ka’bah adalah Baitullah (Rumah
Allah), Baitulharam (Rumah Suci),
atau Baitul Atiq (Rumah Kemerdekaan).
Ka’bah memiliki penutup kain dari sutra yang disebut ‘Kiswah‘, berwarna hitam
dan bertuliskan kaligrafi ‘Allah Jalla
Jalaluh’ (Allah Yang Maha Agung) yang terbuat dari benang emas. Ka’bah
memiliki Pintu (Al-Burk) yang terbuat dari emas murni 99 karat dengan berat 280
kg, letak pintu dari lantai 2,25 m dari lantai thawaf, tinggi daun pintunya
3,06 m dan lebarnya 1,68 m. Karena memiliki atap, maka Ka’bah memerlukan
pancuran air (talang) untuk mengalirkan air hujan dari atap. Talang Ka’bah
(Mizab) terbuat dari emas seberat 40 kg, letaknya tepat didepan Hijir Ismail.
Tempat talang emas itu berada oleh Khalifah Utsman disebut dengan ‘Pintu
Surga‘. Saat kita thawaf mengelilingi Ka’bah, terkadang kita merasakan hembusan
angin yang lembut tatkala berada didepan Hijir Ismail, sebagian jamaah haji
meyakini ini adalah hembusan angin dari surga yang Allah SWT tiupkan melalui
‘Pintu Surga‘ tadi. Ka’bah juga ternyata berbau wangi, karena setiap tahun
Ka’bah dicuci dengan air zamzam, kemudian disiram dengan air mawar dan pewangi
lainnya, lalu diasapi dengan asap kayu wangi.
Yang menarik Shalat di Masjidil
Haram ini adalah para jamaah bisa saling berhadapan, kalau selama ini kita di
tanah air mengetahui bahwa arah hadap shalat adalah Kiblat (menghadap ke
Ka’bah), di Masjidil Haram para jamaah melingkar menghadap Ka’bah yang berada
di tengah-tengah area Masjidil Haram. Posisi Imam berada menghadap pada sisi
Ka’bah dimana pada sisi itu terletak Pintu Ka’bah. Pada dinding antara pintu
Ka’bah dan sudut dimana terletak ‘Hajar Aswad‘ (Batu dari Surga) dinamakan
Multazam, Biasanya pada saat selesai melakukan ‘Thawaf‘ (berjalan mengitari
Ka’bah sebanyak tujuh putaran), kita disunahkan untuk shalat dua rakaat dan
berdoa di ‘Maqam Ibrahim‘ menghadap Multazam ini, karena oleh Nabi Muhammad
SAW tempat ini dianggap sebagai tempat
yang paling baik dan mustajab (makbul) untuk berdoa memohon sesuatu kepada Allah
SWT. Saya mencoba menganalisa, kalau
letak Multazam ini berada pada sisi timur Ka’bah dan selama ini kita di tanah
air (Indonesia) arah shalatnya adalah ke Kiblat (Barat), itu berarti kita di
Indonesia arah menghadap shalatnya tepat pada sisi Ka’bah dimana terletak
Multazam, sebuah kebetulan yang semoga membawa barokah, khususnya kaum muslim
di Negeri kita. Maqam Ibrahim adalah batu tempat Nabi Ibrahim AS berpijak saat
beliau membangun Ka’bah, terletak kurang lebih 10 m tepat di depan pintu
Ka’bah. Di batu istimewa ini masih
membekas telapak kaki Nabi Ibrahim AS terbenam sedalam 9 – 10 cm panjang
telapak kaki 27 cm dan lebarnya 14 cm, menurut riwayat saat Nabi Ibrahim
menginjaknya batu ini menjadi empuk sehingga kedua kaki beliau masuk kedalamnya
dan anehnya dapat naik ke atas dan turun sendiri sesuai keperluan dan kehendak
Nabi Ibrahim AS ketika membangun dinding Ka’bah. Mukjizat Allah SWT untuk Nabi
Ibrahim AS.
Pada suatu waktu pimpinan
rombongan mengajak kami ke ‘Hijir Ismail’ (sisi utara Ka’bah berbentuk setengah
lingkaran), dahulu ini adalah fondasi rumah keluarga Nabi Ibrahim AS, disitu
pula Nabi Ismail AS beserta ibunya Siti
Hajar tinggal dan dimakamkan. Dalam suatu riwayat, Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Hurairah r.a, “ Wahai Abu Hurairah ! di pintu Hijir Ismail sebetulnya ada Malaikat
yang selalu mengatakan kepada setiap
orang yang masuk dan shalat dua rakaat di Hijir Ismail, “ Kau telah diampuni
dosa-dosamu, mulailah dengan amalan-amalan baru “. Kami pergi ke Hijir Ismail tidak bersamaan,
sebagian teman ada yang naik Bus, ada juga yang naik Taxi, bahkan ada juga yang
berjalan kaki, tapi kami janjian pada jam tertentu untuk bertemu di salah satu
pintu Masjidil Haram sebelum nanti bersama-sama mendekati Ka’bah dimana Hijir
Ismail berada. Sengaja kami berangkat berombongan dengan harapan agar nanti
lebih mudah memasuki Hijir Ismail dalam desakan dan himpitan begitu banyak
jamaah haji yang lain. Sampai pada waktu yang disepakati saya dan istri tidak
melihat teman-teman jamaah haji pada lokasi pintu masjid yang ditetapkan sebagi
tempat berkumpul, belakangan saya ketahui ternyata lokasi pintu masjid yang
dijadikan tempat berkumpul pindah tidak pada pintu semula dan saya tidak diberi
tahu. Setelah menunggu sekian lama tidak ada tanda teman-teman berkumpul, saya
coba hubungi salah satu teman jamaah haji lewat telepon seluler ternyata
informasi yang saya dapatkan semua rombongan sudah masuk ke dalam masjid,
artinya saya dan istri tertinggal. Karena sejak awal kami sudah berniat untuk
ke Hijir Ismail, akhirnya saya dan istri memberanikan diri tenggelam dalam
lautan manusia yang begitu banyak berusaha mendekati Ka’bah dan masuk kedalam
Hijir Ismail. Kami hanya bisa pasrah dan menahan sabar dari desakan dan
himpitan jamaah haji lain, dalam hati saya berpikir mengapa kita harus saling
menyakiti padahal kita sedang beribadah dihadapan Sang Pencipta. Hingga pada
akhirnya setelah didesak dan dihimpit dari sana-sini kami berhasil memasuki
Hijir Ismail. Didalam Hijir Ismail situasinya sangat padat oleh para jamaah,
jangankan untuk shalat, berdiri saja susah karena tubuh kita terdorong kesana
kemari oleh desakan para jamaah. Saat masih mencari posisi yang baik untuk
shalat saya melihat seorang ibu berdiri terhimpit disudut dan tidak bisa
shalat, saya dekati ibu itu kemudian berusaha menjaga dan melindunginya dari
desakan para jamaah agar si ibu bisa melaksanakan shalat. Tanpa saya sadari
ternyata ada dua atau tiga ibu-ibu yang saya lindungi dan jaga dalam shalatnya,
setelah selesai saya dan istri bergerak mencari tempat untuk shalat, karena
sejak tadi kami belum dapat melaksanakan shalat. Tidak kami duga sebelumnya
tiba-tiba ada seorang anak muda yang menyuruh saya dan istri untuk shalat dan
dia menjaga kami dengan sekuat tenaganya dari desakan jamaah haji lain yang
berusaha memasuki Hijir Ismail, tidak itu saja, anak muda tadi mendorong kami
untuk berdoa di dekat Ka’bah. Tanpa terasa air mata saya dan istri saya
berlinangan saat berdoa dan mencium Ka’bah. Setelah pada akhirnya kami keluar
dari Hijir Ismail kami tidak lagi melihat anak muda tadi, tapi seingat saya,
saya sempat memeluknya dan mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongannya.
ARMINA, PUNCAK PROSESI HAJI
Proses ibadah selanjutnya adalah
menuju Padang Arafah – Muzdalifah – Mina (Armina), yang merupakan puncak ibadah
haji bagi semua jamaah haji dari seluruh dunia. Di ketiga tempat tersebut,
jamaah haji melakukan kegiatan haji, yakni Wukuf di Padang Arafah, Mabit dan
mengambil batu kerikil di Muzdalifah, dan melempar Jumrah di Mina.
Padang Arafah adalah suatu padang
pasir yang amat luas dengan bukit-bukit berbatu disekelilingnya yang berada di
luar batas Tanah Suci, sekitar 24 km tenggara Kota Makkah. Disinilah seluruh
jamaah haji harus melakukan ‘Wukuf‘ (berdiam diri untuk berdoa dan berzikir).
Wukuf di Arafah ini termasuk dalam Rukun haji yang paling utama, tanpa wukuf di
Arafah berarti haji seseorang tidak sah. Seperti yang diriwayatkan Abu Dawud,
Nabi SAW bersabda, “ Haji itu hadir di
Arafah, barang siapa yang datang pada malam hari jamak (10 Dzulhijah sebelum
terbit fajar) maka sesungguhnya ia masih mendapatkan haji.” Jamaah haji
harus sudah berada di Arafah pada waktu antara tergelincirnya matahari (tengah
hari) tanggal 9 Dzulhijah sampai tengah malam dalam keadaan berpakaian ihram.
Selama wukuf kita memperbanyak zikir, istighfar, dan doa, sesuai dengan sunnah
Rasulullah SAW dengan cara menghadap kiblat sambil mengangkat kedua belah
telapak tangan. Puncak wukuf di Arafah adalah ‘khotbah wukuf’, dalam setiap
khotbah wukuf selalu disampaikan khotbah Rasulullah SAW yang pernah beliau
sampaikan saat mengerjakan haji terakhir (Haji Wada’) pada tahun 10 H. Ketika
itu Rasulullah SAW menyampaikan khotbah
yang amat agung dari atas punggung untanya dihadapan lebih dari seratus ribu
jamaah haji yang turut serta dalam rombongan Nabi SAW saat itu.
Hari Arafah memang mempunyai
banyak kelebihan sebagaimana yang diriwayatkan oleh banyak perawi hadis
Rasulullah SAW. Salah satu hadis riwayat Al-Bazzar menyebutkan bahwa Rasulullah
SAW bersabda, “ Wukuf yang kamu lakukan
pada hari Arafah, sesungguhnya Allah turun ke langit dunia (paling bawah) dan
membangga-banggakan kamu kepada Malaikat, dengan firman-Nya, “ Hamba-hamba-Ku
datang dari segenap pelosok dunia yang jauh, dalam keadaan tidak terurus dan
tubuh mereka berdebu, semata-mata mengharap surga-Ku. Jika mereka datang dengan
dosa sebanyak bilangan pasir, titisan hujan, atau buih di lautan, niscaya Aku
akan menghapuskan semuanya, keluarlah kamu dari Arafah dengan dosa yang telah
di ampuni dan bagi siapa saja yang kamu meminta ampun untuk mereka.”
Sebelum shalat maghrib, kami
sudah harus berkemas karena selanjutnya kami akan menuju Muzdalifah. Saya
merasakan ada sesuatu yang hilang saat meninggalkan Padang Arafah, meski kita
tinggal kurang dari 24 jam, saya menemukan adanya ketentraman dan kenyamanan
saat melakukan rangkaian aktifitas ibadah haji disana, seperti ; bertalbiyah,
berdoa, istighfar, berzikir, shalat, membaca Al Quran dan mendengarkan khotbah
saat wukuf.
Sesampai di Muzdalifah kami
bergegas mencari dan mengumpulkan batu-batu kecil atau kerikil sebanyak 70
butir (bagi yang nafar tsani) atau 49 butir (bagi yang nafar awal) untuk
persiapan lempar Jumrah di Mina. Di Muzdalifah ini para jamaah haji wajib
bermalam (mabit), hingga melewati separuh malam. Menjelang lewat tengah malam,
kami diberangkatkan menuju Mina. Kejadian berebutan untuk menaiki Bus seperti
di Arafah terulang kembali. Semua orang berdesak-desakan ingin menaiki Bus
terlebih dahulu, disana-sini orang berteriak-teriak ingin maju kedepan antrian,
bahkan saling dorong-mendorong berusah untuk menyerobot antrian, hingga membuat
kesal sebagian besar jamaah haji lainnya. Benar-benar menguji kesabaran kita
sampai ke tulang rusuk. Sejak awal pembimbing kami sudah mengingatkan bahwa
godaan syetan di Muzdalifah ini sangat besar, bukan hanya syetan tingkatan
sarjana yang turun, tapi syetan tingkatan master syetan, doktor syetan, bahkan
mungkin profesornya syetan semua turun menggoda para jamaah haji di Muzdalifah
ini, karena mereka tidak rela Allah SWT mengampuni seluruh dosa-dosa yang
dilakukan para jamaah haji. Sampai di
Mina menjelang dini hari, setelah meletakkan tas bawaan di tenda yang
disediakan untuk kami, saya dan rombongan tanpa berisitirahat langsung bergegas
melaksanakan lempar ‘ Jumrah ‘ ( sasaran atau tempat pelemparan batu kerikil
yang didirikan untuk memperingati saat Nabi Ibrahim AS dan keluarganya digoda oleh syetan agar
tidak melaksanakan perintah Allah SWT). Seluruhnya Jumrah di Mina ada tiga :
Jumrah Aqabah (besar), Jumrah Wusta (menengah) dan Jumrah Ula (kecil). Pada
hari itu (10 Dzulhijah) kami hanya baru diperbolehkan melontar Jumrah Aqabah
saja.
Pada hari tasyrik ( tgl 11,12,
dan 13 Dzulhijah ), para jamaah haji diwajibkan kembali melontar Jumrah.
Berbeda dengan saat awal ( 10 Dzulhijah ) dimana jamaah haji hanya melontar
Jumrah Aqabah saja, pada hari tasyrik ini jamaah haji melontar ketiga jumrah,
yaitu : Ula, Wusta dan Aqabah secara berurutan. Bagi jamaah haji yang memilih
nafar awal melontar jumrah dilakukan pada tgl 11 dan 12 dzulhijah, sedangkan
bagi jamaah haji yang mengambil nafar tsani melontar jumrah dilakukan pada tgl
11, 12 dan 13 dzulhijah. Sebelum kembali
ke Makkah, sebagai rasa syukur telah menjalankan seluruh rangkaian ibadah haji,
saya dan seluruh anggota rombongan yang lelaki sepakat untuk mencukur habis rambut
kepala kami (Tahallul).
Pagi hari setelah shalat shubuh
kami berkemas-kemas untuk kembali ke Makkah, setelah makan pagi dan meneguk
secangkir teh susus, kami segera keluar dari tenda dan menuju ke pintu gerbang
untuk menunggu Bus yang akan mengangkut saya dan rombongan ke Makkah.
Perjalanan ke Makkah tidak menemui hambatan yang berarti, meskipun lalu-lintas
padat karena banyak bus-bus yang mengangkut rombongan jamaah haji yang
sama-sama menuju ke Makkah, rombongan kami sampai dipemondokan hari masih belum
terlalu siang. Begitu sampai di Makkah kami langsung menuju Masjidil Haram
untuk melaksanakan thwaf ifadah.
Situasi lalu-lintas menuju
Masjidil Haram begitu padat, kendaraan nyaris tidak bergerak semuanya mengarah
ke Masjidil Haram. Akhirnya saya dan istri memutuskan untuk berjalan kaki
menuju Baitullah. Selesai melaksanakan thawaf ifadah, kami segera menuju Maqam
Ibrahim untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Tanpa terasa air mata kami
menetes dalam doa yang kami panjatkan ke hadirat Allah SWT.