Senin, 04 Desember 2023

 

KEBUYUTAN TRUSMI

 

Kompleks Kramat Buyut Trusmi didirikan oleh Ki Buyut Trusmi yang dipercaya sebagai sesepuh Trusmi sehingga sangat dihormati oleh masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Ki Buyut Trusmi adalah putra pertama Prabu Siliwangi. Sebelumnya ia bernama Pangeran Walangsungsang, atau Pangeran Cakrabuana, pendiri kerajaan Cirebon. Kompleks Kramat Buyut Trusmi telah ada sebelum pembentukan keraton Kase- puhan dan Kanoman. Dalam Ayatrohaedi (2005) disebutkan bahwa awal pembentukan Kase- puhan dan Kanoman pada tahun 1599 Saka (1677). Sedangkan terbentuknya Kompleks Kramat Buyut Trusmi diawali setelah Ki Buyut Trusmi menyerahkan keraton yang sekarang menjadi Keraton Kasepuhan ke Sunan Gunung Jati, Ki Buyut kemudian pindah ke daerah Trusmi pada tahun 1470, dan membangun kompleks Kramat Buyut Trusmi pada tahun 1481.

 

Latar belakang kesejarahan terbentuknya Kabuyutan Trusmi menunjukkan bahwa keberadaan- nya memiliki kontribusi penting dalam sejarah pembentukan dan perkembangan kota Cirebon. Saat ini peranan Kabuyutan Trusmi dalam perkembangan kota Cirebon tenggelam oleh pengembangan kampung Batik Trusmi. Padahal jika dilihat dari aspek kesejarahan seharusnya Kabuyutan Trusmi mendapatkan perhatian khusus.

 

Kabuyutan Trusmi merupakan salah satu gambaran simbol lokalitas masyarakat yang masih bertahan sampai saat ini. Kabuyutan Trusmi dipimpin oleh 4 Kyai (pimpinan agama) yang masing masing didampingi oleh 4 orang Kuncen. Kyai dan Kuncen mempunyai kewajiban untuk mengorganisasi setiap kegiatan di Kabu-yutan (terutama Memayu dan penggantian sirap). Setiap tahun mereka melakukan rapat untuk menentukan waktu, jumlah dan kualitas material yang dibutuhkan, bagian bangunan yang me- merlukan perbaikan, menyusun anggaran yang dibutuhkan, mencari dana untuk pembelian material penyelenggaraan kegiatan. Pasangan Kyai-Kuncen melaksanakan tugas secara ber- gantian setiap 10 hari. Setiap kuncen memiliki seragam dengan warna berbeda untuk masing- masing Kyai yang didampingi, yaitu merah, kuning, putih, dan hijau. Pada saat tidak menjalankan tugas, Kyai atau Kuncen melak- sanakan aktivitasnya masing-masing antara lain sebagai tukang kayu dan pedagang.

 

Kompleks Kabuyutan Trusmi secara Arsitektural merupakan tempat yang khas dengan pengaturan dan landmark visual yang menonjol. Luas Kompleks kabuyutan Trusmi kurang lebih 3600 m2 yang dikelilingi tembok setinggi 1,5 meter. Pola spasial Kabuyutan Trusmi disusun oleh beberapa masa bangunan bangunan dengan struktur kayu, penutup atap sirap (kayu jati) dan welit (anyaman daun kelapa). Selain itu, terda- pat satu hunian yang diperuntukkan bagi kyai Kabuyutan (Omah Gedhe) yang terletak di luar tembok kompleks kabuyutan.

 

Terdapat perbedaan penggunaan bahan penutup atap. Welit digunakan pada Pewadonan, Pekuncen, Jinem, Pendhopo, Dapur. Sedangkan Sirap (kayu jati) digunakan pada Witana, Masjid Kramat, Penyekarab, Pesujudan, Paseban.

 

Omah Gedhe merupakan rumah tinggal Kyai Kabuyutan Trusmi dengan ciri khas adanya Balai Panjang (berupa susunan kayu jati menyerupai bangku panjang dengan 6 tiang penyangga yang langsung terhubung ke tanah). Bale pan- jang memiliki makna spiritual, sehingga ha-rus diletakkan pada orientasi memanjang Timur- Barat. Bahkan ketika memindahkan harus diser- tai dengan ritual khusus.

 

Susunan masa Omah Gede terdiri dari Bale Panjang, Ruang Utama Kuncen, Sumur, Serambi, tempat penyimpanan beras (Lumbung). Seluruh bangunan di Omah Gedhe menggunakan bahan penutup atap dari welit. Konstruksi pada Lum- bung menggunakan sistem pasak dan memiliki kemiringan tertentu.

Bangunan di Kabuyutan Trusmi dibangun dengan keterampilan teknis yang tidak biasa dan memberikan pemahaman baru tentang masa lalu. Seluruh bangunan didirikan oleh komunitas setempat secara gotong royong dengan meman- faatkan teknologi tradisional dan material alami, seperti atap welit, pengggunaan sistem pasak, dan dominasi penggunaan kayu.

 

Sekitar satu bulan sebelum upacara Mamayu, masyarakat secara swadaya mulai merakit welit. Susunan welit terdiri dari bilah kecil bambu sepanjang 6 m (rambatan); bilah kecil bambu sepanjang 1,8 m (jalon); alang-alang (daun kelapa), yang kesemuanya dirakit menggunakan alat bantu lulup berasal dari kulit pohon waru. Dengan keterbatasan bahan baku alang-alang dalam pembuatan welit, saat ini alang-alang di- datangkan dari Indramayu namun perakitan-nya tetap dilakukan di Trusmi.

 

Kearifan lokal masyarakat kabuyutan Trusmi tercermin dari tata cara kehidupan sehari-hari dan beberapa tradisi. Tradisi yang identik de- ngan Kabuyutan Trusmi adalah Memayu dan Penggantian Sirap. Pada awalnya Memayu dilak- sanakan setiap 2 tahun sekali, namun sekarang menjadi setiap tahun. Sedangkan penggantian sirap pada awalnya dilakukan seti-ap 8 tahun, namun sekarang dilakukan setiap 4 tahun sekali. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga keberlangsungan tradisi dan untuk menurukan ke- trampilan teknis terkait dengan pembuatan sirap dan perakitan welit.

 

Memayu adalah penggantian atap welit pada bangunan di Kabuyutan Trusmi yang dilaksa- nakan setiap tanggal 20 Dzuljijjah dalam pena- nggalan Islam oleh warga Trusmi dan sekitarnya secara swadaya sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur yang disertai upacara dan prosesi pawai.

Pada pelaksanaan Memayu, rangkaian welit dipasang pada dua sisi atap, sedangkan dua sisi lainnya diganti untuk tahun berikutnya. Rangka yang perlu diperbaiki diturunkan terlebih dahulu untuk kemudian diperbaiki untuk kemudian welit diikat dengan Lutus (batang bambu yang muda). Sedangkan ragka yang tidak memerlukan per- baikan, welit langsung dipasang. Semua proses Memayu dilakukan secara swadaya dan swa- dana masyarakat atas dasar mengharapkan berkah. Mereka hanya mendapatkan konsumsi yang bahan bakunya merupakan sumbangan  dari warga. Pekerjaan teknis Memayu dilakukan oleh kaum laki-laki, sedangkan untuk konsumsi ditangani oleh kaum wanita.

 

Sirap yang digunakan sebagai penutup atap di Kabuyutan Trusmi berasal dari kayu jati. Upa- cara penggantian sirap dilaksanakan setiap 4 tahun sekali di makam kramat Ki Buyut Trusmi untuk mengganti atap makam yang menggu- nakan Sirap. Pembuatan sirap dilakukan dengan sistem swadaya dan swadana masyarakat. Persiapan pembuatan sirap bisa memakan waktu 4 tahun, dimulai dengan memilih kayu sampai dengan pengolahan kayu menjadi sirap. Hal ini dikarenakan pembuatan Sirap dilakukan secara bertahap sesuai dengan ketersediaan dana.

 

Pada saat perakitan sirap, satu tim terdiri dari kurang lebih 20-50 orang secara swadaya/ relawan tanpa dibayar, hanya disediakan kon- sumsi, mengharapkan berkah) akan dipimpin oleh satu Kyai. Sebelum pembukaan sirap di lakukan, malamnya dilakukan acara tahlilan, disertai dengan Shalawat Brai (sejenis kesenian yang berasal Bayalangu) yang diiring alat musik gembyung (semacam rebana), kendang, dan kecrek. Pada acara penggantian sirap, sum- bangan mengalir dari warga setempat, baik berupa tenaga, bahan makanan mentah, jaja- nan dan minuman, maupun berupa uang yang akhirnya akan menjadi sebuah pesta dari rakyat untuk rakyat.

 

Kesimpulan

 

Berdasarkan investigasi signifikansi dan penilaian signifikansi, maka dapat disimpulkan bahwa Kabuyutan Trusmi memiliki signifikansi budaya dalam level lokal masyarakat Cirebon dan sekitarnya yang ditunjukkan oleh nilai berikut:

a.   Nilai Association

Kabuyutan Trusmi memiliki kontribusi penting dalam sejarah pembentukan dan perkembangan kota Cirebon.

b.   Nilai Sosial

Kabuyutan Trusmi merupakan salah satu gam- baran simbol lokalitas masyarakat yang masih bertahan sampai saat ini.

 

c.   Nilai Estetika

Kompleks Kabuyutan Trusmi secara Arsitektural merupakan tempat yang khas dengan penga- turan dan landmark visual yang menonjol.

d.   Nilai Imiah

Seluruh bangunan didirikan oleh komunitas se- tempat secara gotong royong dengan meman- faatkan teknologi tradisional dan material alami.

e.   Nilai Spiritual

Kearifan lokal masyarakat kabuyutan Trusmi tercermin dari tata cara kehidupan sehari-hari dan beberapa tradisi. Tradisi yang identik de- ngan Kabuyutan Trusmi adalah Memayu dan Penggantian Sirap. Statement of Signifikansi yang telah dirumuskan tersebut dapat menjadi dasar pijakan dalam menentukan arah kebijakan pengelolaan dan kemungkinan pengembangan (Manajemen Signifikansi).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar