Senin, 04 Desember 2023

 

SEGA JAMBLANG,Icon Kuliner Pengembangan

Pariwisata Kota Cirebon (Dalam Perspektif Sejarah)

 

Oleh.

Yoyon Indrayana1,Tri Yuniningsih1

yo.indra@gmail.com

 

1Department of Public Administration, Faculty of Social and Political Sciences, Diponegoro University, Semarang - Indonesia

 

 

ABSTRAKSI

 

Sega jamblang konon berasal dari sebuah nama desa di sebelah barat Kabupaten Cirebon, yakni desa Jamblang, Cirebon. Sega jamblang atau dalam bahasa Indonesia berarti nasi jamblang merupakan nasi putih yang dibungkus daun jati dengan berbagai macam lauk-pauk. Menurut riwayat yang berkembang di masyarakat sega jamblang berawal saat terjadinya Perang Kedondong (1753-1773), perang perlawanan rakyat cirebon melawan penjajah Belanda, atau saat terjadinya pembangunan jalan Anyer – Panarukan (1809-1810) yang dilakukan oleh Daendels, Gubernur Jenderal Belanda saat itu. Sementara ada riwayat lain yang menceritakan kalau sega jamblang berawal saat pembangunan Pabrik Gula pertama di buat di cirebon pada tahun 1847.

Makanan tradisional termasuk sega jamblang, berperan penting dalam ketahanan dan kemandirian pangan. Semua jenis makanan tradisional pada umumnya dibuat dengan potensi lokal, tidak mungkin dibuat menggunakan bahan baku impor. Saat ini bisa dipastikan hampir setiap wisatawan yang datang berkunjung ke kota Cirebon selain manikmati obyek wisata yang ada, mereka juga mampir untuk menikmati sega jamblang. Kuliner Cirebon sebenarnya tidak hanya sega jamblang, tetapi masih banyak yang lain , seperti ; empal gentong, nasi lengko, tahu gejrot, docang, sate kalong, mie koclok, dan lain-lain, tetapi dari semuanya yang selalu menjadi tujuan utama adalah sega jamblang. Sega jamblang sudah menjadi Ikon kuliner bagi pengembangan pariwisata di kota Cirebon.

 

 

Kata Kunci : Sega Jamblang, Daun Jati, Perang Kedondong, Jalan Anyer-Panarukan,

    Pabrik Gula, Ikon Kuliner

 

 

A.    PENDAHULUAN

 

Sega Jamblang (Nasi Jamblang dalam Bahasa Indonesia) adalah makanan khas masyarakat Cirebon. Ciri khas makanan ini adalah penggunaan daun Jati sebagai bungkus nasi. Berkunjung ke Cirebon tanpa menikmati sega jamblang rasanya kurang pas. Sega jamblang atau dalam bahasa Indonesia berarti nasi jamblang merupakan nasi putih yang dibungkus daun jati dengan berbagai macam lauk-pauk. Dalam bahasa Cirebon Nasi disebut Sega. Hampir sama dengan bahasa Jawa "Sego". Sega jamblang ini akan dengan mudah ditemui di setiap sudut kota. Berdasarkan data dari buku kuliner khas Cirebon, ada sekitar 300 penjual sega jamblang. Ada yang dijual di warung tenda, dijual secara keliling ke rumah-rumah warga, dan tak sedikit pula yang berbentuk rumah makan.

Sega jamblang bisa dinikmati kapan saja. Pagi hari sebagai sarapan, bisa juga untuk menu makan siang bahkan makan malam. Untuk sarapan, Sega jamblang akan mudah ditemukan dari para pedagang keliling. Bersama gorengan, nasi kuning, dan nasi uduk, para pedagang keliling biasanya menawarkan juga Sega Jamblang. Di pedagang keliling ini, harga sega jamblang biasanya jauh lebih murah, namun lauk yang ditawarkan sangat terbatas. Sebagai menu makan siang, Sega Jamblang bisa mudah ditemui di warung atau rumah makan. Biasanya saat istirahat siang pengunjung akan ramai dan  jumlah pengunjung akan jauh lebih banyak.Sementara Sega Jamblang untuk makan malam mudah ditemukan di warung-warung tenda di Jalan Tentara Pelajar, Kota Cirebon, atau tepat di depan Grage Mall. Di tempat tersebut bisa dijumpai belasan warung tenda berjejer di pinggir jalan, menjajakan Sega Jamblang. Biasanya buka dari pukul 17.00 dan baru tutup tengah malam atau dini hari.

Keberadaan Sega Jamblang sebagai makanan khas Cirebon, tentunya tidak bisa dilepaskan dari sosok salah satu pedagangnya yang cukup tersohor, yaitu Mang Dul. Sega  Jamblang Mang Dul cukup dikenal oleh masyarakat Cirebon, bukan hanya bagi masyarakat kebanyakan, tetapi juga menyentuh kalangan pejabat. Hampir semua Kepala Daerah, baik itu walikota/bupati serta gubernur hingga Presiden RI pun pernah singgah di warung Sega Jamblang ini.Beberapa selebritis ibukota, jika berkunjung ke Kota Cirebon, selalu menyempatkan mampir ke warung nasi ini juga. Sentra makanan Sega jamblang di Kota Cirebon saat ini terletak di wilayah Gunung Sari, sekitar Grage Mall Kota Cirebon. Walaupun menunya sangat beraneka ragam, namun harga makanan ini relatif murah. Karena pada awalnya makanan tersebut diperuntukan bagi para pekerja buruh kasar di pelabuhan dan kuli angkut.  Biasanya menu yang disajikan  antara lain sambal goreng, tahu sayur, paru-paru, semur hati atau daging, perkedel, sate kentang, telur dadar/telur goreng, telur masak sambal goreng, semur ikan, ikan asin, tahu dan tempe, menu ini mengalami perubahan dan mengalami modifikasi. Artinya Nasi Jamblang yang satu tidak melulu sama dengan yang lain.

Dalam  10 tahun terakhir, sepanjang jalan Pantura Cirebon, sampai masuk Kota Cirebon, sudah banyak dijumpai penjual Sega Jamblang. Baik yang berbentuk restoran atau tenda di pinggir jalan. Yang restoran umumnya juga menjual makanan khas Cirebon lainnya. Seperti Empal Gentong dan Sega Lengko. Mereka menjajakan Sega Jamblang dengan konsep yang hampir sama. Meja ukuran besar ditempatkan di tengah. Di atasnya aneka lauk pauk yang diambil secara prasmanan oleh pembeli. Sedangkan nasi sudah dibungkus daun jati yang diletakkan di bakul berukuran besar.

Sega jamblang adalah salah satu yang menjadi icon wisata Kota Cirebon sejak beberapa tahun kebelakang, seorang musisi musik tradisional tarling termashyur di Cirebon membuatkan sebuah lagu tarling untuk sega jamblang; “ sega jamblang masakane wong Cirebon, rega murah iwake werna lan rupa.... sambel goreng, dendeng ati, tinggal pilih kang gawe seneng ning ati.. .....sega jamblang.. sega jamblang.. akeh wong pada kelingan, gede cilik, tua enom, lanang wadon keedanan ning sega jamblang......!”

 Kita tahu bersama bahwa dalam alam moderisasi di Indonesia saat ini, ternyata tidak hanya ditandai dengan bergesernya pola hidup agraris ke industri saja, tetapi juga aneka ragam makanan / kuliner yang mencirikan kekhasan daerah juga turut berubah, seiring dengan serbuan makanan siap saji (Fast Food) yang juga merupakan salah satu ciri moderisasi. Di wilayah Cirebon juga mengalami hal yang sama, banyak jenis kuliner yang dulu pernah ada tapi sekarang sudah sangat sulit untuk ditemukan. seperti Sate kalong atau Ciko ( aci koko ), kini hampir tidak ada lagi yang menjualnya. Anak-anak kita pun lebih mengenal Pizza Hut, Fried Chiken atau makanan ringan lainnya ketimbang Gadungan, Geblog, Jongkong, Klepon, bubur, Candil, dsb.

Namun demikian, ditengah serbuan kuliner modern tersebut, masih ada beberapa kuliner khas Cirebon yang bertahan bahkan terkenal dan makin berkembang, seperti misalnya Sega jamblang, Empal Gentong, Sega Lengko, Tahu Gejrot, dan Docang. Empat jenis makanan tempo dulu itu hingga kini masih banyak ditemukan dan digemari berbagai kalangan, dan khusunya sega jamblang, malah boleh dibilang telah menjadi ikonnya kuliner Kota Cirebon, walaupun sebetulnya berasal dari Desa Jamblang di Kabupaten Cirebon. Bahkan saat ini ada kecenderungan para pengunjung yang datang ke kota cirebon sengaja hanya untuk menikmati sega jamblang, setelah itu  para pengunjung kembali keasalnya tanpa mampir atau singgah ke obyek wisata yang ada di kota cirebon dan sekitarnya.

Layaknya makanan tradisional yang khas, biasanya juga memiliki sejarah yang panjang tentang awal keberadaannya. Begitu juga dengan sega jamblang, sebagai salah satu makanan khas cirebon yang sangat dikenal saat ini tidak saja oleh penduduk cirebon, tetapi juga wilayah-wilayah disekitar cirebon atau lebih jauh lagi dikenal secara nasional. Banyak riwayat yang menceritakan tentang awal keberadaan dari kuliner ini, yang disampaikan mulut ke mulut atau melalui cerita yang ditulis pada media. Disini penulis mencoba untuk menginventarisir cerita-cerita yang ada untuk dapat menjadi bahan kajian selanjutnya.

 

B.    PEMBAHASAN

 

1.     Sejarah Sega Jamblang

 

Nama sega jamblang konon berasal dari sebuah nama desa di sebelah barat Kabupaten Cirebon, yakni desa Jamblang, Cirebon. Walaupun bernama sega jamblang, makanan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan pohon atau buah jamblang. Sega Jamblang saat itu dibungkus dengan daun jati, mengingat bila dibungkus dengan daun pisang kurang tahan lama sedangkan jika dengan daun jati bisa tahan lama dan tetap terasa pulen. Hal ini karena daun jati memiliki pori-pori yang membantu nasi tetap terjaga kualitasnya meskipun disimpan dalam waktu yang lama. Selain itu daun jati yang tebal dapat menyimpan panas lebih lama sehingga makanan yang dibungkus oleh daun tersebut tahan hangat.  Aroma daun jati yang dipakai untuk membungkus nasi atau makanan lainnya disinyalir juga dapat meningkatkan nafsu makan. 

Meski pada awalnya hanya merupakan makanan khas dari desa jamblang, tetapi dalam perkembangan selanjutnya sega jamblang semakin digemari masyarakat diluar desa jamblang bahkan ke seluruh wilayah cirebon dan sekitarnya. Sehingga pada akhirnya sega jamblang menjadi kekayaan kuliner Cirebon. Ada berbagai riwayat yang  menceritakan tentang awal mula keberadaan sega jamblang, seperti cerita yang berkembang di masyarakat bahwa sega jamblang pada awalnya adalah konsumsi untuk pasukan cirebon yang berperang melawan penjajah Belanda saat Perang Kedondong (1753-1773), atau ada juga yang menceritakan bahwa sega jamblang adalah konsumsi untuk para pekerja pembangunan jalan anyer-panarukan (1809-1810) yang dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal saat itu, Daendels. Bahkan ada juga yang menceritakan bahwa sega jamblang adalah konsumsi untuk para pekerja yang saat itu melaksanakan pembangunan pabrik gula (1847) yang pertama di cirebon.

 Perang Kedondong  (1753 - 1773)

 

Perang Kedongdong yang berlangsung sekitar 20 tahun di wilayah Cirebon-Majalengka pada 1753-1773 adalah perang rakyat Cirebon  yang  tidak hanya menyisakan beragamnya senjata dan tombak di Cirebon. Akan tetapi juga menu makanan khas bagi para pejuang perang.“Sega Jamblang itu menu sisa Perang Kedongdong,” tutur Suryanatha Harya, salah satu trah Sultan Sepuh IV . Jamblang memang menjadi basis perjuangan gerilyawan-gerilyawan Cirebon, yang memakai “strategi kedongdong” menghadapi kolonial Belanda. Strateginya, halus kulitnya, padahal biji di dalamnya berduri. Belanda pun setengah mati perang, surut, perang, surut menghadapi perlawanan pejuang Cirebon dan Majalengka ini. Tetap sayangnya kejadian Perang Kedondong yang merupakan sebuah pertempuran besar telah hilang dari catatan sejarah nasional. Bahkan di pelajaran sejarah sekolah jarang sekali membahas masalah terjadinya Pertempuran Kedondong di Cirebon.

Perang Kedongdong   yang terjadi di salah satu daerah di Kecamatan Susukan, di perbatasan Kabupaten Cirebon-Majalengka , diawali dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan pajak dengan nilai tinggi kepada rakyat. Namun dinilai sebagai kebijakan yang sangat mencekik, karena pada kala itu, rakyat berada pada kondisi yang miskin dan serba kesulitan. Tentu saja kebijakan tersebut mendapatkan tentangan yang sangat kuat dari rakyat, khususnya kaum santri. Ketika itulah, mulailah terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Pergolakan melawan belanda bertambah hebat, setelah Pangeran Suryanegara, Putra Mahkota Sultan Kanoman IV menolak tunduk terhadap perintah kolonial Belanda. Pasalnya Ia memutuskan untuk keluar dari keraton dan bergabung bersama rakyat untuk melakukan perlawanan.Rupanya pasukan Belanda pun semakin terdesak, mereka mengalami kekalahan perang yang sangat besar, bukan saja kehilangan ribuan nyawa prajuritnya, akan tetapi juga kerugian sebesar 150.000 Gulden untuk mendanai perang Kedongdong ini. Pada keadaan putus asa menghadapi perlawanan rakyat di bawah pimpinan Pangeran Suryanegara, Belanda pun meminta tambahan pasukan.Bukan hanya itu, Belanda pun meminta bantuan dari pasukan Portugis yang berada di Malaka, guna membantu mereka dalam meredam perlawanan rakyat Cirebon.Kedatangan enam kapal perang yang mengangkut bala bantuan pasukan Belanda dan telah mendapat dukungan dari kekuatan tentara portugis di Pelabuhan Muara Jati, Namun hal semacam itu tidak membuat ciut perlawanan rakyat cirebon. Justru sebaliknya semangat perlawanan mereka semakin menjadi.

Setelah menjalani pertempuran perang kedondong selama dua puluh tahun (1753-1773), akhirnya Belanda sadar bahwa mereka tidak bisa menghadapi perlawanan rakyat secara frontal. Bahkan pihak Belanda mencari cara untuk melumpuhkan semangat perlawanan rakyat.Salah satu caranya adalah menangkap Pangeran Kanoman, karena dibawah kepemimpinan sang pangeran semangat perlawanan rakyat semakin berkobar. Pada akhirnya dengan segala tipu dayanya yang licik, Belanda dapat menangkap Pangeran Kanoman tersebut. Belanda juga segera menahannya di Batavia dan kemudian mengasingkannya di Benteng Victoria Ambon.

Kecamuk Perang Kedondong, bahkan ditulis dengan gaya naratif-deskriptif oleh prajurit Belanda bernama Van Der Kamp. Buku Van Der Kamp itu, bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ejaan lama 1952. Naskah aslinya ditulis dalam bahasa Belanda dan tersimpan rapi di perpustakaan di Negeri Kincir Angin itu.

 Pembangunan Jalan Anyer – Panarukan Oleh Daendels (1809 – 1810)

 

Menurut sejarahnya, sega Jamblang adalah makanan khas Cirebon yang pada awalnya diperuntukan bagi para pekerja paksa pada zaman Belanda yang sedang membangun jalan raya Daendels dari Anyer ke Panarukan yang melewati wilayah Kabupaten Cirebon, tepatnya di Desa Kasugengan Kab. Cirebon.

Jalan Raya Pos (bahasa Belanda: De Grote Postweg) adalah jalan yang panjangnya kurang lebih 1000 km yang terbentang sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Dibangun pada masa pemerintahan Gubernur-Jenderal Herman Willem Daendels. Pada tiap-tiap 4,5 kilometer didirikan pos sebagai tempat perhentian dan penghubung pengiriman surat-surat. Tujuan pembangunan Jalan Raya Pos adalah memperlancar komunikasi antar daerah yang dikuasai Daendels di sepanjang Pulau Jawa dan sebagai benteng pertahanan di Pantai Utara Pulau Jawa. Saat itu Daendels menerima dua tugas yang diberikan oleh Louis Napoleon, yang menjadi raja di negeri Belanda pada saat itu. Kedua tugas itu adalah: mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki sistem administrasi negara di Jawa. Untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris, Daendels membutuhkan armada militer yang kuat dan tangguh. Daendels membentuk pasukan yang berasal dari masyarakat pribumi. Daendels kemudian mendirikan pendidikan militer di Batavia, dan tempat pembuatan atau pabrik senjata di Semarang.

Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa, Daendels berniat  untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Britania. Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jenderal Daendels memang menakutkan, kejam dan tak kenal ampun. Dengan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini.Demi mencapai cita-citanya dalam pembangunan jalan tersebut Deandles mempergunakan segala cara dari yang semula para pekerja diupah dengan ala kadarnya kemudian diterapkan kerja paksa ketika anggaran telah habis.

Dicirebon sendiri, akibat kerja paksa tersebut mengakibatkan banyak para pekerja yang tewas, salah satu sebabnya adalah akibat kelaparan, karena meskipun para pekerja ini membawa bekal dari rumah berupa nasi akan tetapi sebagaimana lazimnya nasi akan basi setelah lebih dari 10 jam didiamkan dan tidak dimakan.Melihat keadaan seperti itu kemudian orang Jamblang menemukan cara agar nasi yang mereka masak tidak cepat basi, caranya dengan membungkus nasi tersebut dengan godong (daun) Jati.

Begitulah daun jati, dapat memperlama kebasian nasi, sebab mempunyai pori-pori atau serat yang terkandung dalam daunnya. Setelah peristiwa tersebut untuk selanjutnya orang-orang Jamblang selalu menggunakan daun pohon Jati untuk membungkus nasi, karena memang terbukti keampuhanya dalam memperlama basinya nasi. Sementara bila dibungkus dengan daun pisang seperti kebiasaan sebelumnya , nasi kurang tahan lama berkeringat dan cepat basi, sedangkan jika dengan daun jati bisa tahan lama dan tetap terasa pulen.

Menurut Pramoedya Ananta Toer dalam versi yang berbeda seperti disebutkan dalam bukunya yang berjudul " Jalan Raya Pos Jalan Deandels " ini mengaitkan Sega Jamblang dengan proyek pembangunan jalan dari Anyer menuju Panarukan, atau yang sekarang terkenal dengan nama Jalur Pantura. Menurut Versi Pram, Sega Jamblang itu mulanya diciptakan ketika Gubernur Deandels memerintahkan pembuatan jalan Anyer-Panarukan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati itu dimaksudkan untuk dibagikan kepada rakyat yang dipekerjakan dalam proyek tersebut, karena para pekerja sendiri tidak ada yang mampu membeli rantang untuk tempat nasi.

 Pembangunan Pabrik Gula (1847)     

 

Pada tahun 1847 Pemerintah Kolonial Belanda membangun pabrik gula di wilayah Gempol dan di Plumbon, dan pabrik spiritus di Palimanan, 1883. Dibangunnya tiga pabrik tersebut menyerap banyak pekerja. Mereka berasal dari Cirebon dan daerah sekitarnya. Seperti Sindangjawa, Cisaat, Cidahu, Bobos, dan lainnya. Semakin hari para pekerja tersebut terus bertambah. Di sisi lain tidak ada penjual nasi di sana. Kepercayaan saat itu, tidak baik atau pamali jual nasi. Masyarakat saat itu lebih baik menyimpan beras daripada beli nasi. Namun seiring waktu banyak pekerja mencari warung nasi.

Di Jamblang saat itu ada seorang pengusaha pribumi yang bernama H. Abdulatif ( Ki Antra ), beliau banyak memiliki karyawan atau pegawai, maklum karena usaha beliau cukup banyak, anatara lain: Pejagalan sapi atau kerbau, pandai besi ( membuat keranjang ), dan masih ada beberapa lagi,beliaupun memiliki sawah yangcukup luas. Ny. Tan Piauw Lun ( Ny. Pulung ) adalah istri dari H. Abdulatif yang biasa mengurusi keperluan makan para pekerja suaminya. Melihat banyak buruh lepas pabrik yang mencari warung penjual nasi, maka H. Abdulatif pun memberanikan diri untuk memberikan sedekah beberapa bungkus nasi kepada para pekerja lepas tersebut. Mereka menggunakan daun jati untuk membungkus nasinya. Dari mulut ke mulut informasi itu menyebar. Akhirnya banyak pekerja yang makan di sana. Meski awalnya gratis, para pekerja merasa tidak enak. Mereka pun sepakat memberikan sukarela untuk makanan yang mereka makan. 

 

2.     Filosofi Sega Jamblang

 

Makanan tradisional termasuk sega jamblang, berperan penting dalam ketahanan dan kemandirian pangan. Semua jenis makanan tradisional dibuat dengan potensi lokal, tidak mungkin dibuat menggunakan bahan baku impor, kata Prof. Murdijati Gardjito, peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional, Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada.Hari ini publik cirebon sepakat kalau sega jamblang adalah ikon kuliner kota mereka. Eksistensi makanan ini telah meniti jejak-jejak sejarah yang panjang, dimulai sejak jaman perang kedondong di awal abad 18 sampai saat ini. Ada beberapa nilai filosofi yang bisa diambil dari keberadaan kuliner tradisional sega jamblang ini, yaitu ; kejujuran dan kesehatan.

 Kejujuran

 

Penyajian makanannya yang bersifat prasmanan, dimana setiap pembeli bisa bebas untuk memilih dan mengambil makanan sesuai seleranya sendiri serta sistem pembayaran yang dilakukan sangat mengutamakan kejujuran. Tidak hanya penjual yang harus jujur, pembelinya pun ditanamkan untuk jujur pada setiap jenis makanan yang ia ambil. Biasanya penjual menerapkan pola pembayaran di akhir seusai pembeli menyantap makanannya. Pembeli tidak boleh bersikap “darmaji” (dahar lima ngaku siji / makan lima mengaku satu), begitu juga penjual tidak bisa menghitung harga semaunya sendiri.

 

Kesehatan

 

Telah diceritakan diatas, bahwa penyajian sega jamblang menggunakan bungkus daun jati , berikut ini khasiat dan manfaat dari daun jati sebagai alasan mengapa Sega Jamblang di bungkus oleh daun jati ;

a.     Mengatasi kolesterol ;Kandungan tannin, saponin dan quercetin pada daun jati dapat bermanfaat untuk menurunkan kadar kolesterol. Ilmiahnya, quercetin bermanfaat untuk meningkatkan kinerja enzim lipase sehingga proses metabolism pilid bisa kekerja secara maksimal. Kandungan saponin berfungsi untuk menghilangkan plak pada pembuluh darah penyebab darah tinggi dan melebarkan pembuluh darah sehingga peredaran darah keseluruh tubuh tetap lancar. Sedangkan kandungan tannin untuk menghambat penyerapan nutrisi sehingga lemak tidak diserap oleh tubuh. Lemak yang tidak diserap akan keluar berupa feses.

b.     Menurunkan Tekanan Darah ; Telah disinggung diatas bahwa kandungan saponin pada daun jati bermanfaat untuk mencegah hipertensi.

c.     Mengatasi Anemia ;  Ekstrak daun jati dipercaya untuk mengatasi anemia, hal ini telah dibuktikan oleh beberapa penelitian yang lakukan oleh para ilmuwan Togo. Menyatakan ekstrak daun jati yang diujicobakan pada seekor tikus ternyata mampu meningkatkan konsentrasi hemoglobin, trombosit, kadar retikulosit  dan hematokrit serta dapat menambah daya tahan pada trombosit muda.

d.     Mengatasi Diabetes ; Untuk menurunkan kadar glukosa dalam darah dapat memanfaatkan ekstrak batang kulit jati.

e.     Menyehatkan Rambut ; Biji Jati telah dipercaya dapat digunakan untuk menyehatkan dan menumbuhkan rambut, hal ini banyak dilakukan di India sebai obat rambut tradisional (hair tonic).

 

3.     Icon kuliner

 

Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa bagi masyarakat Cirebon sudah tidak asing lagi mendengar kata Sega Jamblang yaitu Nasi yang dibuat dan dijual oleh orang Jamblang. Bahkan mungkin juga kita sudah sama-sama menikmati lejatnya Sega Jamblang beserta lauk pauknya yang bermacam-macam hampir berjumlah 30 macam jenis makanan yang dulu pada awalnya hanya ampas kecap atau tauco, tempe goreng dan tahu goreng saja. Sega Jamblang dikenal cukup luas tidak hanya masyarakat Cirebon saja, akan tetapi sampai juga ke Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Keistimewaan Nasi atau Sega Jamblang, disamping karena kelejatan dan kenikmatan cita rasa masakan, juga dibungkus dengan daun jati dan dimakan atau dinikmati sambil lesehan seperti menikmati gudeg Jogja di jalan Malioboro sambil mendengarkan lagu Tarlingan khas musik Cirebon dengan judul Sega Jamblang.

Keistimewaan lain adalah cara memasaknya, bahan bakarnya harus menggunakan kayu bakar. Karena apabila menggunakan kompor minyak maka rasa dari masakan pun akan berbeda, kurang sedap tentunya. Apabila nasi telah masak, kemudian diaduk-aduk sambil dikipasin menggunakan ilir (kipas yang terbuat dari anyaman bilah bambu) hingga adem merata (diakeul).

Saat ini bisa dipastikan hampir setiap wisatawan yang datang berkunjung ke kota Cirebon selain manikmati obyek wisata yang ada di kota Cirebon , mereka juga mampir untuk menikmati sega jamblang. Bahkan yang dirasa cukup mengkhawatirkan ada gejala para pengunjung hanya datang untuk menikmati kuliner (sega jamblang) saja tanpa meninjau obyek-obyek wisata yang ada, setelah itu mereka kembali ke asalnya. Kuliner Cirebon sebenarnya tidak hanya sega jamblang, tetapi masih banyak yang lain , seperti ; empal gentong, nasi lengko, tahu gejrot, docang, sate kalong, mie koclok, dan lain-lain, tetapi dari semuanya yang selalu menjadi tujuan utama adalah sega jamblang. Sega jamblang sudah menjadi Icon kuliner bagi pengembangan pariwisata di kota Cirebon.

 

 

C.    PENUTUP

 

Sebagai icon kuliner kota Cirebon, sega jamblang ternyata memiliki sejarah yang cukup panjang, sehinggga wajarlah kalau saat ini sega jamblang di kenal oleh banyak orang, tidak saja warga kota Cirebon dan sekitarnya, tetapi juga para pengunjung dari berbagai kota yang datang ke kota Cirebon selalu mencari keberadaan sega jamblang. Beberapa informasi yang berkembang terkait awal mula keberadaan sega jamblang , dari sejak Jaman Perang Kedondong pada tahun (1753 – 1773), saat Pembangunan Jalan Anyer – Panarukan Oleh Daendels (1809 – 1810) atau saat pendirian Pabrik Gula pada tahun (1847), sangat sulit untuk dibuktikan karena tidak adanya dokumen tertulis yang ditemukan. Informasi yang berkembang sebatas informasi lisan dan ingatan kolektif masyarakat Cirebon yang diceritakan secara turun temurun. Yang perlu dijaga dan dilakukan saat ini adalah bagaimana agar Sega Jamblang sebagai icon kuliner kota Cirebon dapat menjadi daya tarik/magnet dan pemicu bagi pengembangan pariwisata kota Cirebon.

 

 DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Atja (1986) : Carita Purwaka Caruban Nagari ; Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah. Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, Bandung, Indonesia.
  2. Prawiraredja, sugianto, mohammed.(2005) : CIREBON ; Falsafah, Tradisi dan Adat Budaya. Perum Percetakan Negara RI.
  3. Ki Kampah (2013) : Babad Cirebon Carub Kandha Naskah Tangkil. Ed.1 Deepublish, Yogyakarta.
  4. Judisseno, Rimsky K.(2017) : Aktivitas dan Kompleksitas Kepariwisataan : Suatu Tinjauan Tentang Kebijakan Pengembangan Kepariwisataan. PT.Gramedia Pustaka Utama, Anggota IKAPI, Jakarta.
  5. Antariksa, Basuki.(2018) : Kebijakan Pembangunan Sadar Wisata : Menuju Daya Saing Kepariwisataa Berkelanjutan. Intrans Publishing, Anggota IKAPI, Malang, Jawa Timur.

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar