SEGA JAMBLANG,Icon Kuliner
Pengembangan
Pariwisata Kota Cirebon (Dalam Perspektif
Sejarah)
Oleh.
Yoyon
Indrayana1,Tri Yuniningsih1
1Department of Public Administration, Faculty
of Social and Political Sciences, Diponegoro University, Semarang - Indonesia
ABSTRAKSI
Sega jamblang konon
berasal dari sebuah nama desa di sebelah barat Kabupaten Cirebon, yakni desa
Jamblang, Cirebon. Sega jamblang atau dalam bahasa Indonesia berarti nasi
jamblang merupakan nasi putih yang dibungkus daun jati dengan berbagai macam
lauk-pauk. Menurut riwayat yang berkembang di
masyarakat sega jamblang berawal saat terjadinya Perang Kedondong (1753-1773),
perang perlawanan rakyat cirebon melawan penjajah Belanda, atau saat terjadinya
pembangunan jalan Anyer – Panarukan (1809-1810) yang dilakukan oleh Daendels,
Gubernur Jenderal Belanda saat itu. Sementara ada riwayat lain yang
menceritakan kalau sega jamblang berawal saat pembangunan Pabrik Gula pertama
di buat di cirebon pada tahun 1847.
Makanan
tradisional termasuk sega jamblang, berperan penting dalam ketahanan dan
kemandirian pangan. Semua jenis makanan tradisional pada umumnya dibuat
dengan potensi lokal, tidak mungkin dibuat menggunakan bahan baku impor. Saat
ini bisa dipastikan hampir setiap wisatawan yang datang berkunjung ke kota
Cirebon selain manikmati obyek wisata yang ada, mereka juga mampir untuk
menikmati sega jamblang. Kuliner Cirebon sebenarnya tidak hanya sega jamblang,
tetapi masih banyak yang lain , seperti ; empal gentong, nasi lengko, tahu
gejrot, docang, sate kalong, mie koclok, dan lain-lain, tetapi dari semuanya
yang selalu menjadi tujuan utama adalah sega jamblang. Sega jamblang sudah
menjadi Ikon
kuliner bagi pengembangan pariwisata di kota Cirebon.
Kata Kunci : Sega Jamblang, Daun Jati, Perang Kedondong, Jalan
Anyer-Panarukan,
Pabrik Gula, Ikon
Kuliner
A.
PENDAHULUAN
Sega Jamblang
(Nasi Jamblang dalam Bahasa Indonesia) adalah makanan khas masyarakat Cirebon. Ciri
khas makanan ini adalah penggunaan daun Jati sebagai bungkus nasi. Berkunjung
ke Cirebon tanpa menikmati sega jamblang rasanya kurang pas. Sega jamblang atau
dalam bahasa Indonesia berarti nasi jamblang merupakan nasi putih yang
dibungkus daun jati dengan berbagai macam lauk-pauk. Dalam bahasa Cirebon Nasi
disebut Sega. Hampir sama dengan bahasa Jawa "Sego". Sega jamblang
ini akan dengan mudah ditemui di setiap sudut kota. Berdasarkan data dari buku
kuliner khas Cirebon, ada sekitar 300 penjual sega jamblang. Ada yang dijual di
warung tenda, dijual secara keliling ke rumah-rumah warga, dan tak sedikit pula
yang berbentuk rumah makan.
Sega jamblang bisa
dinikmati kapan saja. Pagi hari sebagai sarapan, bisa juga untuk menu makan
siang bahkan makan malam. Untuk sarapan, Sega jamblang akan mudah ditemukan
dari para pedagang keliling. Bersama gorengan, nasi kuning, dan nasi uduk, para
pedagang keliling biasanya menawarkan juga Sega Jamblang. Di pedagang keliling
ini, harga sega jamblang biasanya jauh lebih murah, namun lauk yang ditawarkan
sangat terbatas. Sebagai menu makan siang, Sega Jamblang bisa mudah ditemui di
warung atau rumah makan. Biasanya saat istirahat siang pengunjung akan ramai
dan jumlah pengunjung akan jauh lebih
banyak.Sementara Sega Jamblang untuk makan malam mudah ditemukan di
warung-warung tenda di Jalan Tentara Pelajar, Kota Cirebon, atau tepat di depan
Grage Mall. Di tempat tersebut bisa dijumpai belasan warung tenda berjejer di
pinggir jalan, menjajakan Sega Jamblang. Biasanya buka dari pukul 17.00 dan
baru tutup tengah malam atau dini hari.
Keberadaan Sega
Jamblang sebagai makanan khas Cirebon, tentunya tidak bisa dilepaskan dari
sosok salah satu pedagangnya yang cukup tersohor, yaitu Mang Dul. Sega Jamblang Mang Dul cukup dikenal oleh
masyarakat Cirebon, bukan hanya bagi masyarakat kebanyakan, tetapi juga
menyentuh kalangan pejabat. Hampir semua Kepala Daerah, baik itu
walikota/bupati serta gubernur hingga Presiden RI pun pernah singgah di warung
Sega Jamblang ini.Beberapa selebritis ibukota, jika berkunjung ke Kota Cirebon,
selalu menyempatkan mampir ke warung nasi ini juga. Sentra makanan Sega
jamblang di Kota Cirebon saat ini terletak di wilayah Gunung Sari, sekitar
Grage Mall Kota Cirebon. Walaupun menunya sangat beraneka ragam, namun harga
makanan ini relatif murah. Karena pada awalnya makanan tersebut diperuntukan
bagi para pekerja buruh kasar di pelabuhan dan kuli angkut. Biasanya menu yang disajikan antara lain sambal goreng, tahu sayur,
paru-paru, semur hati atau daging, perkedel, sate kentang, telur dadar/telur
goreng, telur masak sambal goreng, semur ikan, ikan asin, tahu dan tempe, menu
ini mengalami perubahan dan mengalami modifikasi. Artinya Nasi Jamblang yang
satu tidak melulu sama dengan yang lain.
Dalam 10 tahun terakhir, sepanjang jalan Pantura
Cirebon, sampai masuk Kota Cirebon, sudah banyak dijumpai penjual Sega
Jamblang. Baik yang berbentuk restoran atau tenda di pinggir jalan. Yang
restoran umumnya juga menjual makanan khas Cirebon lainnya. Seperti Empal
Gentong dan Sega Lengko. Mereka menjajakan Sega Jamblang dengan konsep yang
hampir sama. Meja ukuran besar ditempatkan di tengah. Di atasnya aneka lauk
pauk yang diambil secara prasmanan oleh pembeli. Sedangkan nasi sudah dibungkus
daun jati yang diletakkan di bakul berukuran besar.
Sega jamblang adalah salah satu yang menjadi icon wisata Kota Cirebon sejak beberapa tahun kebelakang,
seorang musisi musik tradisional
tarling termashyur di Cirebon membuatkan sebuah lagu tarling untuk sega
jamblang; “ sega
jamblang masakane wong Cirebon, rega murah iwake werna lan rupa.... sambel
goreng, dendeng ati, tinggal pilih kang gawe seneng ning ati.. .....sega
jamblang.. sega jamblang.. akeh wong pada kelingan, gede cilik, tua enom,
lanang wadon keedanan ning sega jamblang......!”
Kita tahu
bersama bahwa dalam alam moderisasi di Indonesia saat ini, ternyata tidak hanya ditandai dengan bergesernya pola hidup
agraris ke industri saja, tetapi juga aneka ragam makanan / kuliner yang
mencirikan kekhasan daerah juga turut berubah, seiring dengan serbuan makanan
siap saji (Fast Food) yang juga merupakan salah satu ciri moderisasi. Di wilayah
Cirebon juga mengalami hal yang
sama, banyak jenis kuliner yang dulu pernah ada
tapi sekarang sudah sangat sulit untuk ditemukan. seperti
Sate kalong atau Ciko ( aci koko ), kini hampir tidak ada lagi yang menjualnya.
Anak-anak kita pun lebih mengenal Pizza Hut, Fried Chiken atau makanan ringan
lainnya ketimbang Gadungan, Geblog, Jongkong, Klepon, bubur, Candil, dsb.
Namun demikian, ditengah serbuan kuliner modern tersebut,
masih ada beberapa kuliner khas Cirebon yang bertahan bahkan terkenal dan makin
berkembang, seperti misalnya Sega jamblang, Empal
Gentong, Sega Lengko, Tahu Gejrot, dan Docang. Empat jenis makanan tempo dulu itu
hingga kini masih banyak ditemukan dan digemari berbagai kalangan, dan khusunya
sega jamblang, malah boleh dibilang telah menjadi ikonnya kuliner Kota Cirebon,
walaupun sebetulnya berasal dari Desa Jamblang di Kabupaten Cirebon. Bahkan saat ini ada kecenderungan
para pengunjung yang datang ke kota cirebon sengaja hanya untuk menikmati sega
jamblang, setelah itu para pengunjung
kembali keasalnya tanpa mampir atau singgah ke obyek wisata yang ada di kota
cirebon dan sekitarnya.
Layaknya makanan tradisional yang
khas, biasanya juga memiliki sejarah yang panjang tentang awal keberadaannya.
Begitu juga dengan sega jamblang, sebagai salah satu makanan khas cirebon yang
sangat dikenal saat ini tidak saja oleh penduduk cirebon, tetapi juga
wilayah-wilayah disekitar cirebon atau lebih jauh lagi dikenal secara nasional.
Banyak riwayat yang menceritakan tentang awal keberadaan dari kuliner ini, yang
disampaikan mulut ke mulut atau melalui cerita yang ditulis pada media. Disini
penulis mencoba untuk menginventarisir cerita-cerita yang ada untuk dapat
menjadi bahan kajian selanjutnya.
B.
PEMBAHASAN
1.
Sejarah Sega
Jamblang
Nama
sega jamblang konon berasal dari sebuah nama desa di sebelah barat Kabupaten
Cirebon, yakni desa Jamblang, Cirebon. Walaupun bernama sega jamblang, makanan
ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan pohon atau buah jamblang. Sega
Jamblang saat itu dibungkus dengan daun jati, mengingat bila dibungkus dengan
daun pisang kurang tahan lama sedangkan jika dengan daun jati bisa tahan lama
dan tetap terasa pulen. Hal ini karena daun jati memiliki pori-pori yang
membantu nasi tetap terjaga kualitasnya meskipun disimpan dalam waktu yang
lama. Selain itu daun jati yang tebal dapat menyimpan panas lebih lama sehingga
makanan yang dibungkus oleh daun tersebut tahan hangat. Aroma daun jati
yang dipakai untuk membungkus nasi atau makanan lainnya disinyalir juga dapat
meningkatkan nafsu makan.
Meski pada awalnya hanya merupakan makanan khas dari desa
jamblang, tetapi dalam perkembangan selanjutnya sega jamblang semakin digemari
masyarakat diluar desa jamblang bahkan ke seluruh wilayah cirebon dan
sekitarnya. Sehingga pada akhirnya sega jamblang menjadi kekayaan kuliner
Cirebon. Ada berbagai riwayat yang
menceritakan tentang awal mula keberadaan sega jamblang, seperti cerita yang berkembang di masyarakat bahwa sega jamblang pada awalnya
adalah konsumsi untuk pasukan cirebon yang berperang melawan penjajah Belanda
saat Perang Kedondong (1753-1773), atau ada juga yang menceritakan bahwa sega
jamblang adalah konsumsi untuk para pekerja pembangunan jalan anyer-panarukan
(1809-1810) yang dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal saat itu, Daendels. Bahkan
ada juga yang menceritakan bahwa sega jamblang adalah konsumsi untuk para
pekerja yang saat itu melaksanakan pembangunan pabrik gula (1847) yang pertama
di cirebon.
Perang
Kedongdong yang berlangsung sekitar 20 tahun di wilayah Cirebon-Majalengka pada
1753-1773 adalah perang rakyat Cirebon yang tidak
hanya menyisakan beragamnya senjata dan tombak di Cirebon. Akan tetapi juga
menu makanan khas bagi para pejuang perang.“Sega
Jamblang itu menu sisa Perang Kedongdong,” tutur Suryanatha Harya, salah
satu trah Sultan Sepuh IV . Jamblang memang menjadi basis perjuangan
gerilyawan-gerilyawan Cirebon, yang memakai “strategi kedongdong” menghadapi
kolonial Belanda. Strateginya, halus kulitnya, padahal biji di dalamnya
berduri. Belanda pun setengah mati perang, surut, perang, surut menghadapi
perlawanan pejuang Cirebon dan Majalengka ini. Tetap sayangnya kejadian Perang
Kedondong yang merupakan sebuah pertempuran besar telah hilang dari catatan
sejarah nasional. Bahkan di pelajaran sejarah sekolah jarang sekali membahas
masalah terjadinya Pertempuran Kedondong di Cirebon.
Perang
Kedongdong yang terjadi di salah satu
daerah di Kecamatan Susukan, di perbatasan Kabupaten Cirebon-Majalengka , diawali
dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan pajak dengan nilai
tinggi kepada rakyat. Namun dinilai sebagai kebijakan yang sangat mencekik,
karena pada kala itu, rakyat berada pada kondisi yang miskin dan serba
kesulitan. Tentu saja kebijakan tersebut mendapatkan tentangan yang sangat kuat
dari rakyat, khususnya kaum santri. Ketika itulah,
mulailah terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Pergolakan
melawan belanda bertambah hebat, setelah Pangeran Suryanegara, Putra Mahkota
Sultan Kanoman IV menolak tunduk terhadap perintah kolonial Belanda. Pasalnya
Ia memutuskan untuk keluar dari keraton dan bergabung bersama rakyat untuk
melakukan perlawanan.Rupanya pasukan Belanda pun semakin terdesak, mereka
mengalami kekalahan perang yang sangat besar, bukan saja kehilangan ribuan
nyawa prajuritnya, akan tetapi juga kerugian sebesar 150.000 Gulden untuk
mendanai perang Kedongdong ini. Pada keadaan putus asa menghadapi perlawanan
rakyat di bawah pimpinan Pangeran Suryanegara, Belanda pun meminta tambahan
pasukan.Bukan hanya itu, Belanda pun meminta bantuan dari pasukan Portugis yang
berada di Malaka, guna membantu mereka dalam meredam perlawanan rakyat
Cirebon.Kedatangan enam kapal perang yang mengangkut bala bantuan pasukan
Belanda dan telah mendapat dukungan dari kekuatan tentara portugis di Pelabuhan
Muara Jati, Namun hal semacam itu tidak membuat ciut perlawanan rakyat cirebon.
Justru sebaliknya semangat perlawanan mereka semakin menjadi.
Setelah
menjalani pertempuran perang kedondong selama dua puluh tahun (1753-1773),
akhirnya Belanda sadar bahwa mereka tidak bisa menghadapi perlawanan rakyat
secara frontal. Bahkan pihak Belanda mencari cara untuk melumpuhkan semangat
perlawanan rakyat.Salah satu caranya adalah menangkap Pangeran Kanoman, karena
dibawah kepemimpinan sang pangeran semangat perlawanan rakyat semakin berkobar.
Pada akhirnya dengan segala tipu dayanya yang licik, Belanda dapat menangkap
Pangeran Kanoman tersebut. Belanda juga segera menahannya di Batavia dan
kemudian mengasingkannya di Benteng Victoria Ambon.
Kecamuk
Perang Kedondong, bahkan ditulis dengan gaya naratif-deskriptif oleh prajurit
Belanda bernama Van Der Kamp. Buku Van Der Kamp itu, bahkan telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia ejaan lama 1952. Naskah aslinya ditulis dalam bahasa
Belanda dan tersimpan rapi di perpustakaan di Negeri Kincir Angin itu.
Menurut
sejarahnya, sega Jamblang adalah makanan khas Cirebon yang pada awalnya
diperuntukan bagi para pekerja paksa pada zaman Belanda yang sedang membangun
jalan raya Daendels dari Anyer ke Panarukan yang melewati wilayah Kabupaten
Cirebon, tepatnya di Desa Kasugengan Kab. Cirebon.
Jalan
Raya Pos (bahasa Belanda: De Grote Postweg) adalah jalan yang panjangnya kurang
lebih 1000 km yang terbentang sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai
Panarukan. Dibangun pada masa pemerintahan Gubernur-Jenderal Herman Willem
Daendels. Pada tiap-tiap 4,5 kilometer didirikan pos sebagai tempat perhentian
dan penghubung pengiriman surat-surat. Tujuan pembangunan Jalan Raya Pos adalah
memperlancar komunikasi antar daerah yang dikuasai Daendels di sepanjang Pulau
Jawa dan sebagai benteng pertahanan di Pantai Utara Pulau Jawa. Saat itu
Daendels menerima dua tugas yang diberikan oleh Louis Napoleon, yang menjadi
raja di negeri Belanda pada saat itu. Kedua tugas itu adalah: mempertahankan
Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki sistem
administrasi negara di Jawa. Untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan
Inggris, Daendels membutuhkan armada militer yang kuat dan tangguh. Daendels
membentuk pasukan yang berasal dari masyarakat pribumi. Daendels kemudian
mendirikan pendidikan militer di Batavia, dan tempat pembuatan atau pabrik
senjata di Semarang.
Ketika
baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa, Daendels berniat untuk membangun jalur transportasi sepanjang
pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Britania. Angan-angan
Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga
Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal
untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang
gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di
pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jenderal Daendels
memang menakutkan, kejam dan tak kenal ampun. Dengan tangan besinya jalan itu
diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Suatu prestasi yang luar
biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan
mendunia hingga kini.Demi mencapai cita-citanya dalam pembangunan jalan
tersebut Deandles mempergunakan segala cara dari yang semula para pekerja
diupah dengan ala kadarnya kemudian diterapkan kerja paksa ketika anggaran
telah habis.
Dicirebon
sendiri, akibat kerja paksa tersebut mengakibatkan banyak para pekerja yang
tewas, salah satu sebabnya adalah akibat kelaparan, karena meskipun para
pekerja ini membawa bekal dari rumah berupa nasi akan tetapi sebagaimana
lazimnya nasi akan basi setelah lebih dari 10 jam didiamkan dan tidak
dimakan.Melihat keadaan seperti itu kemudian orang Jamblang menemukan cara agar
nasi yang mereka masak tidak cepat basi, caranya dengan membungkus nasi
tersebut dengan godong (daun) Jati.
Begitulah
daun jati, dapat memperlama kebasian nasi, sebab mempunyai pori-pori atau serat
yang terkandung dalam daunnya. Setelah peristiwa tersebut untuk selanjutnya
orang-orang Jamblang selalu menggunakan daun pohon Jati untuk membungkus nasi,
karena memang terbukti keampuhanya dalam memperlama basinya nasi. Sementara
bila dibungkus dengan daun pisang seperti kebiasaan sebelumnya , nasi kurang
tahan lama berkeringat dan cepat basi, sedangkan jika dengan daun jati bisa tahan
lama dan tetap terasa pulen.
Menurut Pramoedya Ananta
Toer dalam versi yang berbeda seperti disebutkan dalam bukunya yang berjudul
" Jalan Raya Pos Jalan Deandels " ini mengaitkan Sega Jamblang dengan
proyek pembangunan jalan dari Anyer menuju Panarukan, atau yang sekarang
terkenal dengan nama Jalur Pantura. Menurut
Versi Pram, Sega Jamblang itu mulanya diciptakan ketika Gubernur Deandels
memerintahkan pembuatan jalan Anyer-Panarukan. Nasi yang dibungkus dengan daun
jati itu dimaksudkan untuk dibagikan kepada rakyat yang dipekerjakan dalam
proyek tersebut, karena para pekerja sendiri tidak ada yang mampu membeli
rantang untuk tempat nasi.
Pada tahun 1847 Pemerintah Kolonial Belanda membangun
pabrik gula di wilayah Gempol dan di Plumbon, dan pabrik spiritus di Palimanan,
1883. Dibangunnya
tiga pabrik tersebut menyerap banyak pekerja. Mereka berasal dari Cirebon dan
daerah sekitarnya. Seperti Sindangjawa, Cisaat, Cidahu, Bobos, dan lainnya. Semakin
hari para pekerja tersebut terus bertambah. Di sisi lain tidak ada penjual nasi
di sana. Kepercayaan saat itu, tidak baik atau pamali jual nasi. Masyarakat
saat itu lebih baik menyimpan beras daripada beli nasi. Namun seiring waktu
banyak pekerja mencari warung nasi.
Di Jamblang saat itu ada seorang pengusaha pribumi
yang bernama H. Abdulatif ( Ki Antra ), beliau banyak memiliki karyawan atau
pegawai, maklum karena usaha beliau cukup banyak, anatara lain: Pejagalan sapi
atau kerbau, pandai besi ( membuat keranjang ), dan masih ada beberapa
lagi,beliaupun memiliki sawah yangcukup luas. Ny. Tan Piauw Lun ( Ny. Pulung )
adalah istri dari H. Abdulatif yang biasa mengurusi keperluan makan para
pekerja suaminya. Melihat banyak buruh lepas pabrik yang mencari warung penjual
nasi, maka H. Abdulatif pun memberanikan diri untuk memberikan sedekah beberapa
bungkus nasi kepada para pekerja lepas tersebut. Mereka menggunakan daun jati
untuk membungkus nasinya. Dari mulut ke mulut informasi itu menyebar. Akhirnya
banyak pekerja yang makan di sana. Meski awalnya gratis, para pekerja merasa
tidak enak. Mereka pun sepakat memberikan sukarela untuk makanan yang mereka
makan.
2.
Filosofi Sega
Jamblang
Makanan
tradisional termasuk sega jamblang, berperan penting dalam ketahanan dan
kemandirian pangan. Semua jenis makanan tradisional dibuat dengan potensi
lokal, tidak mungkin dibuat menggunakan bahan baku impor, kata Prof. Murdijati
Gardjito, peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional, Pusat Studi Pangan dan
Gizi Universitas Gajah Mada.Hari ini publik cirebon sepakat kalau sega jamblang
adalah ikon kuliner kota mereka. Eksistensi makanan ini telah meniti
jejak-jejak sejarah yang panjang, dimulai sejak jaman perang kedondong di awal
abad 18 sampai saat ini. Ada beberapa nilai filosofi yang bisa diambil dari
keberadaan kuliner tradisional sega jamblang ini, yaitu ; kejujuran dan
kesehatan.
Penyajian
makanannya yang bersifat prasmanan, dimana setiap pembeli bisa bebas untuk
memilih dan mengambil makanan sesuai seleranya sendiri serta sistem pembayaran
yang dilakukan sangat mengutamakan kejujuran. Tidak hanya penjual yang harus
jujur, pembelinya pun ditanamkan untuk jujur pada setiap jenis makanan yang ia
ambil. Biasanya penjual menerapkan pola pembayaran di akhir seusai pembeli
menyantap makanannya. Pembeli tidak boleh bersikap “darmaji” (dahar lima ngaku
siji / makan lima mengaku satu), begitu juga penjual tidak bisa menghitung
harga semaunya sendiri.
Kesehatan
Telah diceritakan
diatas, bahwa penyajian sega jamblang menggunakan bungkus daun jati , berikut
ini khasiat dan manfaat dari daun jati sebagai alasan mengapa Sega Jamblang di
bungkus oleh daun jati ;
a.
Mengatasi
kolesterol
;Kandungan tannin, saponin dan quercetin pada daun jati dapat bermanfaat untuk
menurunkan kadar kolesterol. Ilmiahnya, quercetin bermanfaat untuk meningkatkan
kinerja enzim lipase sehingga proses metabolism pilid bisa kekerja secara
maksimal. Kandungan saponin berfungsi untuk menghilangkan plak pada pembuluh
darah penyebab darah tinggi dan melebarkan pembuluh darah sehingga peredaran
darah keseluruh tubuh tetap lancar. Sedangkan kandungan tannin untuk menghambat
penyerapan nutrisi sehingga lemak tidak diserap oleh tubuh. Lemak yang tidak
diserap akan keluar berupa feses.
b.
Menurunkan Tekanan
Darah
; Telah disinggung diatas bahwa kandungan saponin pada daun jati bermanfaat
untuk mencegah hipertensi.
c.
Mengatasi Anemia ; Ekstrak daun jati dipercaya untuk mengatasi
anemia, hal ini telah dibuktikan oleh beberapa penelitian yang lakukan oleh
para ilmuwan Togo. Menyatakan ekstrak daun jati yang diujicobakan pada seekor
tikus ternyata mampu meningkatkan konsentrasi hemoglobin, trombosit, kadar
retikulosit dan hematokrit serta dapat
menambah daya tahan pada trombosit muda.
d.
Mengatasi Diabetes ; Untuk
menurunkan kadar glukosa dalam darah dapat memanfaatkan ekstrak batang kulit
jati.
e.
Menyehatkan Rambut ; Biji Jati telah
dipercaya dapat digunakan untuk menyehatkan dan menumbuhkan rambut, hal ini
banyak dilakukan di India sebai obat rambut tradisional (hair tonic).
3.
Icon kuliner
Seperti telah kita
ketahui bersama, bahwa bagi masyarakat Cirebon sudah tidak asing lagi mendengar
kata Sega Jamblang yaitu Nasi yang dibuat dan dijual oleh orang Jamblang.
Bahkan mungkin juga kita sudah sama-sama menikmati lejatnya Sega Jamblang
beserta lauk pauknya yang bermacam-macam hampir berjumlah 30 macam jenis
makanan yang dulu pada awalnya hanya ampas kecap atau
tauco, tempe goreng dan tahu goreng saja. Sega Jamblang dikenal cukup luas
tidak hanya masyarakat Cirebon saja, akan tetapi sampai juga ke Bandung, Jakarta
dan sekitarnya. Keistimewaan Nasi atau Sega Jamblang, disamping karena
kelejatan dan kenikmatan cita rasa masakan, juga dibungkus dengan daun jati dan
dimakan atau dinikmati sambil lesehan seperti menikmati gudeg Jogja di jalan
Malioboro sambil mendengarkan lagu Tarlingan khas musik Cirebon dengan judul
Sega Jamblang.
Keistimewaan lain
adalah cara memasaknya, bahan bakarnya harus menggunakan kayu bakar. Karena
apabila menggunakan kompor minyak maka rasa dari masakan pun akan berbeda,
kurang sedap tentunya. Apabila nasi telah masak, kemudian diaduk-aduk sambil
dikipasin menggunakan ilir (kipas yang terbuat dari anyaman bilah bambu) hingga
adem merata (diakeul).
Saat ini bisa
dipastikan hampir setiap wisatawan yang datang berkunjung ke kota Cirebon selain
manikmati obyek wisata yang ada di kota Cirebon , mereka juga mampir untuk
menikmati sega jamblang. Bahkan yang dirasa cukup mengkhawatirkan ada gejala
para pengunjung hanya datang untuk menikmati kuliner (sega jamblang) saja tanpa
meninjau obyek-obyek wisata yang ada, setelah itu mereka kembali ke asalnya.
Kuliner Cirebon sebenarnya tidak hanya sega jamblang, tetapi masih banyak yang
lain , seperti ; empal gentong, nasi lengko, tahu gejrot, docang, sate kalong,
mie koclok, dan lain-lain, tetapi dari semuanya yang selalu menjadi tujuan
utama adalah sega jamblang. Sega jamblang sudah menjadi Icon kuliner bagi
pengembangan pariwisata di kota Cirebon.
Sebagai
icon kuliner kota Cirebon, sega jamblang ternyata memiliki sejarah yang cukup
panjang, sehinggga wajarlah kalau saat ini sega jamblang di kenal oleh banyak
orang, tidak saja warga kota Cirebon dan sekitarnya, tetapi juga para
pengunjung dari berbagai kota yang datang ke kota Cirebon selalu mencari
keberadaan sega jamblang. Beberapa informasi yang berkembang terkait awal mula
keberadaan sega jamblang , dari sejak Jaman Perang Kedondong pada tahun (1753 –
1773), saat Pembangunan Jalan Anyer – Panarukan Oleh Daendels (1809 – 1810)
atau saat pendirian Pabrik Gula pada tahun (1847), sangat sulit untuk
dibuktikan karena tidak adanya dokumen tertulis yang ditemukan. Informasi yang
berkembang sebatas informasi lisan dan ingatan kolektif masyarakat Cirebon yang
diceritakan secara turun temurun. Yang perlu dijaga dan dilakukan saat ini
adalah bagaimana agar Sega Jamblang sebagai icon kuliner kota Cirebon dapat
menjadi daya tarik/magnet dan pemicu bagi pengembangan pariwisata kota Cirebon.
- Atja (1986) : Carita Purwaka
Caruban Nagari ; Karya Sastra
Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah. Proyek Pengembangan Permuseuman
Jawa Barat, Bandung, Indonesia.
- Prawiraredja, sugianto, mohammed.(2005) : CIREBON ; Falsafah, Tradisi dan Adat Budaya.
Perum Percetakan Negara RI.
- Ki Kampah (2013) : Babad Cirebon
Carub Kandha Naskah Tangkil. Ed.1 Deepublish, Yogyakarta.
- Judisseno, Rimsky K.(2017) : Aktivitas
dan Kompleksitas Kepariwisataan : Suatu
Tinjauan Tentang Kebijakan Pengembangan Kepariwisataan. PT.Gramedia
Pustaka Utama, Anggota IKAPI, Jakarta.
- Antariksa, Basuki.(2018) : Kebijakan
Pembangunan Sadar Wisata : Menuju Daya Saing Kepariwisataa Berkelanjutan.
Intrans Publishing, Anggota IKAPI, Malang, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar